Notification

×

Iklan

Iklan

Emas dan Uang Fiat: Mengapa “Aset Aman” Ini Kerap Jadi Exit Liquidity Global

28 Desember 2025 | 11:37 WIB Last Updated 2025-12-28T04:37:23Z


Pasbana - Emas sejak lama dipercaya sebagai pelindung kekayaan. Setiap krisis datang, narasinya selalu sama: lari ke emas. Namun jika ditelusuri sejak dunia meninggalkan standar emas, cerita emas justru menunjukkan pola yang berulang dan sering merugikan investor ritel.

Perubahan besar dimulai setelah runtuhnya sistem Bretton Woods pada 1971. Sejak itu, dunia memasuki era uang fiat—mata uang yang nilainya tidak lagi ditopang emas, melainkan oleh kepercayaan dan kekuatan ekonomi. 

Bagi negara besar seperti Amerika Serikat, sistem ini memberi ruang mencetak uang, membiayai defisit, dan mengatur likuiditas global. Di sisi lain, emas kehilangan peran sebagai alat tukar utama dan berubah menjadi aset lindung nilai.
Masalah muncul saat emas menjadi objek euforia massal. 

Pada 1980, harga emas melonjak hingga sekitar USD 850 per troy ounce, dipicu inflasi dan krisis energi. Publik global memborong emas. Namun justru di puncak itulah bank sentral menaikkan suku bunga, dolar menguat, dan emas dilepas perlahan. Hasilnya, sepanjang 1980–1999 harga emas runtuh hampir 70% secara riil. Investor ritel menjadi korban pertama.

Pola serupa terulang pada 1999–2011. Setelah gelembung dot-com dan krisis finansial global 2008, emas kembali dipoles sebagai “safe haven”. Kebijakan pencetakan uang besar-besaran mendorong harga emas ke puncak USD 1.920/oz pada 2011.

Narasinya keras: fiat akan runtuh, emas penyelamat. Namun setelah euforia, emas kembali jatuh sekitar 45% hingga 2015, sementara institusi besar sudah keluar lebih dulu.

Bahkan pada krisis 2008, fakta penting sering dilupakan: emas sempat turun lebih dari 30%. Bukan karena emas “gagal”, melainkan karena saat krisis akut, semua aset dijual demi uang tunai—dan emas adalah sumber likuiditas tercepat.

Pandemi COVID-19 kembali mengulang cerita lama. Stimulus besar mendorong emas ke rekor baru, lalu stagnan ketika likuiditas mengalir ke saham dan aset berisiko.

Pelajarannya jelas: emas bukan musuh, tetapi juga bukan jimat. Ia cocok sebagai penyimpan nilai jangka panjang dan diversifikasi kecil, bukan spekulasi saat euforia. Dalam era uang fiat, emas sering menjadi exit liquidity. Jangan sampai kita yang datang terakhir.

Teruslah membaca artikel terkait saham dan investasi, dan tingkatkan literasi finansial agar keputusan investasi tidak dikendalikan oleh narasi, melainkan pemahaman siklus.(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update