Notification

×

Iklan

Iklan

Emosi, Bukan Angka: Mengapa Harga Saham Lebih Sering Bergerak Karena Psikologi Pasar

22 Desember 2025 | 09:57 WIB Last Updated 2025-12-22T02:57:13Z
 


Pasbana - Kalau kita buka grafik saham setiap hari, naik-turunnya harga sering terlihat seperti teka-teki. Padahal, kalau ditarik benang merahnya, penggerak utama pasar saham bukan cuma laporan keuangan atau indikator teknikal yang rumit. 

Faktor paling dominan justru emosi manusia: takut, serakah, panik, dan euforia.
Artikel ini mengajak pembaca memahami psikologi pasar saham dengan cara yang sederhana dan membumi.

Tujuannya jelas: membantu investor dan trader ritel agar tidak mudah terombang-ambing suasana pasar, serta mampu mengambil keputusan investasi yang lebih rasional.

Pasar Saham: Cermin Emosi Manusia


Pasar saham bukan mesin. Isinya manusia dengan beragam kepentingan dan emosi. Karena itu, pola pergerakannya pun cenderung berulang.

Dalam berbagai literasi pasar modal yang juga sering disampaikan oleh Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, disebutkan bahwa volatilitas pasar tidak lepas dari perilaku investor yang reaktif terhadap informasi dan sentimen.

Sederhananya, harga saham sering bergerak lebih cepat karena rasa takut dan serakah, bukan karena perubahan nilai bisnis yang nyata.

Fase Euforia: Saat Semua Terlihat Indah


Biasanya pola dimulai dari fase optimisme.
Harga saham naik bertahap. Awalnya sepi, lalu muncul berita positif. Grup diskusi mulai ramai. Timeline media sosial penuh rekomendasi. 

Banyak investor masuk bukan karena sudah menghitung risiko, tapi karena takut ketinggalan—fenomena yang sering disebut fear of missing out (FOMO).

Analogi sederhananya seperti antre beli gorengan. Saat satu orang bilang “ini enak”, lalu antrean memanjang, orang lain ikut beli bukan karena lapar, tapi takut kehabisan.

Di fase ini:
  • Risiko sering diabaikan
  • Harga bisa naik terlalu cepat
  • Nilai wajar mulai ditinggalkan

Justru di momen inilah, pelaku pasar yang lebih tenang mulai berpikir untuk mengurangi posisi. Bukan karena pesimis, tapi karena sadar: pasar tidak pernah naik lurus tanpa jeda.

Contoh Nyata: Harga Naik Cepat, Risiko Membesar


Bayangkan sebuah saham naik dari Rp1.000 ke Rp1.600 hanya dalam dua minggu. Awalnya sepi, lalu mendadak ramai dibicarakan. Banyak investor baru masuk di harga Rp1.500 karena takut terlambat.

Di saat yang sama, investor yang masuk lebih awal mulai ambil untung. Ini bukan kebetulan. Saat mayoritas merasa “aman”, risiko justru sedang tinggi-tingginya.

Fase Panik: Ketika Logika Kalah oleh Rasa Takut


Setelah euforia, biasanya datang fase sebaliknya.

Harga mulai turun. Layar perdagangan memerah. Berita negatif bermunculan. Grup saham yang tadinya ramai mendadak sepi, atau justru penuh keluhan.

Banyak investor menjual saham bukan karena analisis bisnis berubah, tapi karena takut kerugian makin besar. Fokusnya bukan lagi “apakah saham ini bagus?”, melainkan “yang penting keluar dulu”.

Padahal, dalam banyak kasus, penurunan karena panik membuat harga jatuh lebih dalam dari seharusnya.

Saat Takut Berlebihan, Peluang Mulai Muncul


Menariknya, di fase inilah peluang sering terbuka.

Misalnya, saham bank besar dengan bisnis stabil turun dari Rp5.000 ke Rp4.200 karena pasar sedang panik. Tidak ada perubahan signifikan pada kinerja perusahaan, tapi harga keburu jatuh karena sentimen.
Investor yang memahami psikologi pasar tidak langsung masuk. 

Mereka mengamati:
Apakah tekanan jual mulai melemah?
Apakah harga mulai bergerak mendatar?
Apakah penurunan ini karena masalah bisnis atau sekadar sentimen sesaat?

Bagi yang punya rencana dan mental siap, kondisi seperti ini sering menjadi momen akumulasi bertahap, bukan ikut panik.

Pola yang Selalu Berulang di Pasar Saham


Dari berbagai fase tadi, ada satu benang merah yang hampir selalu terjadi:
  • Saat mayoritas terlalu optimis, risiko biasanya sudah tinggi
  • Saat mayoritas terlalu takut, peluang sering mulai muncul

Bukan berarti investor harus selalu melawan pasar. Namun, mengikuti emosi ramai-ramai hampir selalu berakhir dengan keputusan yang kurang optimal.

Tips Praktis Mengelola Emosi Saat Berinvestasi Saham


Agar tidak terjebak siklus emosi pasar, berikut beberapa panduan sederhana yang bisa langsung diterapkan:

Punya rencana sebelum beli
Tentukan alasan beli, target, dan batas risiko sejak awal.

Pisahkan fakta dan sentimen
Tanyakan: yang berubah bisnisnya atau cuma suasana pasarnya?

Jangan jadikan keramaian sebagai sinyal utama
Ramai dibicarakan bukan berarti aman.

Belajar nyaman dengan ketidakpastian
Pasar saham tidak pernah serba pasti, yang bisa dikendalikan adalah keputusan kita.

Perbanyak literasi, kurangi spekulasi
Rajin membaca laporan, analisis, dan edukasi pasar modal dari sumber tepercaya.

Musuh Terbesar Investor Bukan Pasar


Pada akhirnya, memahami psikologi pasar bukan soal merasa paling pintar. Ini tentang belajar tenang saat orang lain terlalu berisik, dan tetap berpikir jernih saat pasar sedang tidak bersahabat.

Dalam dunia saham, kerugian paling sering bukan datang dari market, tapi dari keputusan yang diambil saat emosi memegang kendali.

Teruslah belajar, tingkatkan literasi finansial, dan baca artikel-artikel ekonomi serta investasi lainnya agar keputusan yang diambil semakin matang dan rasional. Pasar boleh bergejolak, tapi investor cerdas tahu kapan harus bersabar dan kapan harus bertindak.(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update