Notification

×

Iklan

Iklan

Sebanyak 806 Balita di Kota Pariaman Terindikasi "Stunting"

22 November 2018 | 07.42 WIB Last Updated 2022-01-11T09:52:58Z
Pencegahan Stunting terus dilakukan ( foto : Dok. republika )

Pariaman ---  Kepala Dinas Kesehatan Kota Pariaman, Bakhtiar seperti yang dilansir oleh Haluan, Minggu (11/11) mengatakan, pihaknya telah melakukan penimbangan terhadap 6.559 balita di Kota Tabuik itu, dengan hasil 12,03 persen (806 orang) di antaranya teridentifikasi mengalami gejala stunting.

“Jumlah balita stunting ada di empat kecamatan, di Kecamatan Pariaman Timur sebanyak 117 balita (1.78%), di Pariaman Tengah sebanyak 415 balita (6,33%), di Pariaman Selatan sebanyak 95 balita (1.45%), dan di Kecamatan Pariaman Utara sebanyak 179 balita (2.73%),” kata Bakhtiar.

Terkait besarnya angkat tersebut, Wali Kota (Wako) Pariaman, Genius Umar meminta secara tegas dinas dan pihak terkait untuk memberikan penanganan secara cepat dan tepat sehingga Kota Pariaman lekas lepas dari persoalan tersebut. 

Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Kesehatan Daerah Kota Pariaman 2018 di Balairung Rumah Dinas Wako Pariaman, Kamis 8 November 2018 lalu.

“Pembangunan kesehatan merupakan investasi utama bagi pembangunan sumber daya manusia. Untuk itu, diharapkan kesadaran, kemauan, serta kemampuan setiap orang untuk dapat berperilaku hidup sehat, guna mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Masalah balita stunting yang dibiarkan ini akan berdampak kepada menurunnya tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunnya produktifitas, hingga menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan ketimpangan,” kata Genius.

Di tempat terpisah , Kepala Dinkes Sumbar, Merry Yuliesday mengatakan, kasus stunting memang terjadi karena banyak faktor. Setelah dilakukan penimbangan terhadap bayi empat kali selama setahun. Berdasarkan data terbaru dari Kota Pariaman, dapat disimpulkan bahwa tidak satu pun tinggi balita yang ditimbang memenuhi standar yang ditetapkan WHO.

“Namun hal itu bisa terjadi karena beberapa faktor lain. Kami mesti lihat juga kasus stunting itu terjadi di nagari mana saja, ekonomi dan budayanya bagaimana, pendapatan daerahnya bagaimana," ujarnya, Selasa (20/11).

Menurut Merry, penanganan kasusstunting ke depan masih bisa menempuh beberapa cara. 

"Kalau dari kecil sudah mengalami stuntingya, penanganannya dengan perbaikan gizi, asupan, dan pola asuh sesuai dengan faktor pemicu apa yang menyebabkan stunting," ucap Merry lagi.

Namun begitu, Merry mengaku belum mengetahui secara umum kondisi stunting di setiap kota/kabupaten di Sumbar. Ia pun berjanji akan menelusuri kondisi tersebut ke setiap daerah dalam waktu dekan.

"Saat ini saya sendiri belum tahu kondisi stunting di masing-masing daerah. Mungkin nanti, ditanya dulu kepada ahli gizi dan dinas kesehatan masing-masing daerah, karena dinkes provinsi kan terima laporan dari daerah itu," kata Merry lagi.

Sementara itu di Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat , risiko anak bertubuh pendek ternyata berhulu dari minimnya fasilitas jamban di Pasaman dan Pasaman Barat.

Masyarakat masih banyak yang buang hajat di sungai atau fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus) dengan kebersihan yang minim. Higienitas fasilitas MCK yang tidak terjamin memicu munculnya penyakit diare atau mencret.

Stunting memang tidak lepas dari kondisi budaya masyarakat. Meski secara ekonomi orang tua memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak, faktor lingkungan dan higienitas fasilitas MCK yang minim tetap bermuara pada ancaman penyakit diare. ( Ril/bd)
×
Kaba Nan Baru Update