Notification

×

Iklan

Iklan

Tradisi Pakilia, Cara Keluarga Muslim di Mentawai Lestarikan Budaya

15 Februari 2021 | 17.46 WIB Last Updated 2021-02-15T10:48:09Z



Mentawai -- Pakilia merupakan prosesi menerima keluarga baru di sebuah uma atau keluarga di Sikabaluan, Mentawai.


Hari itu Sabtu (13/2/2021), Tani Marjoni Sakerebau, warga Desa Muara Sikabaluan Kecamatan Siberut Utara memberikan kekuatan dan sangat kepada anak perempuannya yang tengah bersiap mengikuti prosesi pakilia dengan memberikan minum kepada anaknya, Srilaila Agustari . 


Srilaila Agustari dipersunting Randika Segah, seorang pemuda asal Kalimantan Tengah. Tani Marjoni menguatkan  sulungnya untuk tetap memegang ayam yang merupakan bagian dari prosesi tradisional Pakilia. 


Pakilia merupakan prosesi yang sangat langka diikuti dan dilaksanakan di kalangan masyarakat yang beragama Islam. 


"Dia takut memegang ayam", kata Tani Marjoni memberikan penjelasan kepada beberapa anggota keluarga besarnya terkait anaknya yang tidak mau memegang ayam untuk digenggam selama prosesi pakilia berlangsung.


Pihak keluarga Tani Marjoni dan anak sulungnya yang menikah bersepakat dan memutuskan untuk melaksanakan prosesi Pakilia sebagai adat dan budaya pesta pernikahan di Sikabaluan, meski prosesinya tak sesempurna yang dilakukan masyarakat lainnya yang masih paham tahapan dan sukat pakilia (pemberkatan). 


"Anak saya juga meminta dan merasa bangga dengan memakai budaya Mentawai,” katanya.


Sebelum hari pelaksanaan pakilia, pada Jumat (12/2/2021) di rumah Tani Marjoni dilangsungkan akad nikah Srilaila Agustari anak dari Tani Marjoni dan Ridawati dengan Randika Segah anak dari Dehes dan Endang Suharti. Sedangkan acara respsi dilaksanakan pada Sabtu malam hingga minggu.


Pelaksanaan prosesi pakilia di Sikabaluan khususnya di Dusun Nangnang biasa dilakukan. Namun yang membuat tak biasa kali ini karena keluarga yang melaksanakan berasal dari agama Islam. Karena di Dusun Nangnang yang biasa melaksanakan hanya yang beragama Katolik.


Untuk membacakan sukat pakilia, pihak keluarga meminta kepada Salim Tasirilotik, seorang guru budaya Mentawai di SDN 09 Muara Sikabaluan. Karena di Sikabaluan hanya satu orang yang biasa membawakan sukat pakilia, yaitu Taleku Sikaraja yang sedang dalam keadaan sakit. Karena tidak hafal, sukat yang diucapkan ditulis dalam selembar kertas dan dibawa oleh Salim saat akan mengawali prosesi pakilia.


"Makna yang terkandung didalamnya saya mengerti. Namun tidak hafal kata-katanya. Mudah-mudahan ini awal dan akan terbiasa kedepannya,” kata Salim Tasirilotik dikutip dari MentawaikitaMinggu (14/2/2021).


Untuk atribut budaya lainnya tetap dipakai dan menyesuaikan kondisi di Sikabaluan. Pengantin dan pendampimg tetap memakai riasan kepala, kalung dan ikat pangkal lengan, membawa ayam dan daun katsaila. Sementara pengantin perempuan memakai baju lengan panjang untuk meminimalisir terbukanya aurat.


Ustadz Thomas, salah seorang ustad di wilayah Desa Muara Sikabaluan yang ikut hadir dan terlibat membantu dalam acara pakilia mengatakan secara agama Islam dan budaya Mentawai tidak ada yang salah. Hanya bagi orang Mentawai yang beragama muslim selama ini tidak menjalankan prosesi budaya karena menghindari persinggungan budaya Mentawai yang dalam berbusana terbuka, sementara pada agama Islam melarang terbukanya aurat.


"Letaknya hanya soal aurat. Maka pihak keluarga ini karena bangga dengan budaya Mentawai dan ingin menjalankan prosesi adat dan budaya dengan meminimalisir terbukanya aurat khususnya bagi pengantin perempuan,” katanya.


Diakui Thomas, ada agama yang memang sangat terbuka dan berbaur dalam adat dan budaya, namun ada agama yang menghargai dan mencintai budaya dengan batasan nilai agamanya.


"Karena tidak ada pilihan saja. Adat dan budaya itu sudah ada sejak dulu, sementara agama memiliki nilai dan kaidah tersendiri. Cara menyelaraskan ini yang harus kita pahami dan lihat dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang Mentawai yang memiliki agama,” katanya. (Sumber : Mentawaikita) 

×
Kaba Nan Baru Update