Notification

×

Iklan

Iklan

Nur Sutan Iskandar dan Wisata Sastra

29 Januari 2023 | 22.23 WIB Last Updated 2023-01-30T00:51:32Z

Oleh: Ferdinal
Civitas Academica Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Andalas


pasbana -- “Tinggalah dulu Danau Maninjau, Ranah Tacinto Saba Mananti ,” ujar Vicky Koga dalam lagunya berjudul  Danau Maninjau Saba Mananti.  Suara hati Vicky Koga tentunya juga merupakan suara hati banyak orang yang sudah pernah berkunjung ke danau ini. Mereka ingin kembali berkunjung dan menikmati kembali keindahan danau cantik ini.

Pesona alam Danau Maninjau memang tidak diragukan lagi akan keindahannya dilihat dari dekat ataupun dari jauh seperti dari Ambun Pagi atau Puncak Lawang. Tapi tahukah Anda bahwa daerah seputar Danau Maninjau juga kaya dengan kekayaan budaya? Pemda Agam mencatat sejumlah destinasi wisata budaya dan sejarah yang ada di sekitar Danau ini, diantaranya adalah Rumah Baanjuang Nur Sutan Iskandar. 

Nur Sutan Iskandar, salah satu sastrawan besar Indonesia yang mengangkat isu adat masyarakat Minangkabau dan sejarah dalam karya-karyanya,  seperti Hulubalang Raja, Mutiara,  Apa Dayaku Karena Aku Perempuan, Salah Pilih, dan Karena Mentua. Karya-karya Nur Sutan Iskandar beserta nagari, tempat tinggal, kuburan, rumah, serta peninggalan dia yang ada di Sungai Batang merupakan kekayaan budaya Indonesia yang perlu didesiminasikan kepada publik. 


Lukisan Nur Sutan Iskandar
(Sumber: Rumah Baca Nur Sutan Iskandar)


Tidak banyak informasi tentang bagaimana kehidupan penulis ini ketika kecil di desanya. Budaya Minangkabau dan ajaran Islam tentunya sangat mewarnai kehidupan masyarakat Sungai batang, termasuk Nur Sutan Iskandar pada masa itu. 

Dengan meninggalnya orang-orang yang satu generasi dengan penulis ini di desanya, generasi sekarang tidak bisa mengetahui lebih banyak tentang kehidupannya termasuk anggota keluarga besarnya yang masih hidup sekarang.

Tradisi lisan yang berkembang waktu itu serta interaksi langsung antara penulis ini dengan anggota keluarga dan masyarakat desanya yang belum dituliskan menyebabkan kita penikmat sastra tidak mempunyai informasi yang memadai tentang kehidupannya. 

Salah satu yang bisa kita rujuk adalah karyanya berjudul Pengalaman Masa Kecil. Karya ini adalah kisah kehidupan dia sendiri yang mencakup masa kelahiran, mengaji, sekolah, kehidupan di kampung, perubahan yang terjadi sampai dia menjadi guru. 

Karir menulis dia dimulai ketika bertugas sebagai guru di Sungai Batang, Muara Bakti, Palembang tahun 1911, dan Padang tahun 1914. Dia mulai bekerja sebagai korektor di Balai Pustaka tahun 1919. Pada tahun 1924, dia diangkat sebagai redaktur. 

Pengalamannya dalam tulis menulis membawanya ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1950. Hidup di Jakarta memungkinkan dia bergabung dengan kegiatan politik, seperti pengurus Budi Utomo, bendahara partai Indonesia Raya, pengurus PNI, dan juga anggota konstituante. 

Karir menulisnya dimulai tahun 1920-an, dimana dia mempermasalahkan adat dan masyarakat di Minangkabau, isu sejarah dan sosial di daerah lain serta topik dunia melalui karya terjemahannya. Melalui tangannya, dia mengedit dan meloloskan sejumlah karya sastra di Indonesia. 

Budiardjo (2000) mencatat bahwa karya-karya Nur Sutan Iskandar oleh sebagian kritikus dan akademisi dikelompokkan atas novel sejarah, novel Minang, dan novel daerah lainnya. 

Hulubalang Raja adalah sebuah novel sejarah yang dibuat berdasarkan tulisan H. Kroeskamp tahun 1931 dengan judul De Westkusten Minangkabau (1665 – 1668). Mutiara, novel lainnya, merupakan kisah kepahlawanan Cut Mutia ketika melawan Belanda. Novel-novel seperti Apa Dayaku Karena Aku Perempuan, Cinta yang Membawa Maut, Salah Pilih, Karena Mentua, dan Tuba Dibalas dengan Susu bertopik persoalan Minangkabau. 

Perhatian penulis ini juga tertuju kepada masalah yang terjadi diluar Minangkabau, termasuk karya seperti Katak Hendak Jadi Lembu, Dewi Rimba, Neraka Dunia, Cinta dan Kewajiban, dan Jangir Bali. Nur Sutan Iskandar juga juga menulis novel propaganda seperti Cinta Tanah Air, Cobaan, dan Pengalaman Masa Kecil.  Karya-karya terjemahan dan saduran dia termasuk Tiga Panglima Perang,  dan Graaf de Monte Cristo (karya-karya A. Dumas), Belut Kena Ranjau (karya Baronesse Orezy), dan Anjing Setan (karya Rider Haggard). 

Warisan Nur Sutan Iskandar tidak hanya karya sastra tapi juga sejumlah artefak. Di Sungai Batang, dia dan keluarganya memiliki dua buah rumah adat yang dijadikan cagar budaya oleh pemerintah Agam yang dikelola BPCB Batusangkar, yaitu Rumah Gadang dan Rumah Baca Nur Sutan Iskandar yang terletak disamping Pasar Sungai Batang. 

Rumah Gonjong Suku Guci, yang kemudian diberi nama Rumah Gadang Baanjuang Nur Sutan Iskandar yang  dicatat oleh Cagar Budaya di BPCB Batusangkar dengan SK Menteri Nomor PM. 86/PW.007/MPK/2011. Rumah ini berdiri disamping  pasar Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, dan bersebelahan dengan mesjid Raya Kubu Sungai Batang dan berjarak sekitar 50 meter dari tepi Danau Maninjau.  

Rumah Gadang ini perlu dilesatrikan. “Pengunjung ingin tahu rumah Nur Sutan Iskandar. Rumah ini perlu dipertahankan, diperbaiki, ditambah koleksinya,” ucap Yurni Munir, kemenakan dari Nur Sutan Iskandar.



Rumah Gadang Baanjuang Nur Sutan Iskandar
(Sumber: Dokumentasi Ferdinal)


Rumah gadang ini konstruksinya berbeda dari rumah-rumah gadang lainnya. Perbedaan pertama yang cukup unik dari rumah ini adalah bagian sampingnya yang menjorok keluar dengan gonjong diatasnya serta berfungsi sebagai anjungan. 

Dengan adanya dua anjungan ini, maka rumah ini dinamai Rumah Gadang Baanjuang. Kedua, lantai rumah gadang ini rata semuanya. Tidak ada perbedaan tinggi lantai antara ruang utama dengan kamar. 

Ruangan utama terbuka berukuran 5 x 12,6 m. Dari ruang ini, pengunjung dapat memperhatikan kamar-kamar tidur. Kamar-kamar ini merupakan kamar anggota keluarga dan tamu atau kerabat yang bertamu dari tempat jauh. 

Pada awal-awal pengelolaannya, Rumah Gadang Baanjuang Nur Sutan Iskandar telah dikunjungi relatif banyak orang, namun seiring berjalannya waktu, apalagi pada masa pandemi sekarang, pengunjung yang datang semakin sedikit. 

Hal ini disebabkan oleh sejumlah alasan, termasuk adanya destinasi saingan yang ada di sekitar Danau Maninjau.  

Untuk menjadikan warisan Nur Sutan Iskandar sebagai pusat pendidikan, pemerintah bekerjasama dengan keluarga besar Nur Sutan Iskandar mendirikan Rumah Baca Nur Sutan Iskandar. Tahun 2006, Dinas Pariwisata Kabupaten Agam dengan keluarga sang penulis menggunakan rumah  gadang lainnya dari keluarga penulis, yang berdiri dekat dengan Rumah Gadang Baanjuang. 

Pembaca bisa menikmati sejumlah koleksi rumah baca yang terdiri dari sejumlah karya besar Balai Pustaka, khususnya karya Nur Sutan Iskandar.  

Rumah baca ini berhasil menarik cukup banyak pengunjung khususnya pelajar. Pada beberapa tahun awal rumah baca ini dikunjungi oleh banyak wisatawan khususnya pelajar dan mahasiswa yang datang untuk menikmati bacaan yang ada di rumah baca ini. 

Namun beberapa tahun terakhir, sedikit masyarakat yang datang mengunjungi rumah baca ini dan koleksi pun semakin berkurang karena usia tua dan hilangnya sebagian koleksi karena dipinjam dan diambil oleh sebagian pengunjung.  

Rumah Gadang Baanjuang dan Rumah Baca Nur Sutan Iskandar belum berhasil mendatangkan pengunjung dalam jumlah besar karena berbagai alasan. Rumah adat dan rumah baca nya ini belum dikelola secara profesional sehingga perawatan dan pengembangan kedua rumah ini belum bisa dilakukan dengan baik. Keberadaan kedua rumah ini serta fungsi budayanya juga belum bisa dikembangkan untuk kepentingan publik yang lebih luas. 

Kedua rumah ini membutuhkan perhatian yang lebih dari pemerintah, keluarga maupun masyarakat setempat. Salah satu pengelola rumah baca ini Jusni menyebutkan bahwa pengunjung yang datang semakin berkurang yang menandakan bahwa minat baca pelajar saat ini juga menurun. 

Disamping itu, bahan bacaan sebagai referensi juga semakin terbatas. Jusni juga berharap, “pemerintah daerah untuk menambah buku-buku lainnya, sehingga bahan bacaan semakin menari minat baca generasi penerus.”  

Rudi, koordinator Komunitas Penerus Generasi Hamka (KPGH) juga menyampaikan keprihatinannya tentang keberadaan wisata Nur Sutan Iskandar ini dimana sosok penulis ini mulai luntur di fikiran masyarakat dan bahkan banyak anggota masyarakat yang tidak mengenal beliau.  

Kedua rumah ini membutuhkan perhatian yang lebih besar dari semua pemangku kepentingan untuk bisa berfungsi sebagai objek wisata budaya dan pendidikan yang layak dikunjungi dan dibutuhkan oleh banyak wisatawan.

Kedua rumah ini cukup potensial menjadi kompleks Museum Sastra jika dikelola dan dikembangkan dengan baik dan benar oleh semua pemangku kepentingan. Potensinya sangat besar karena didukung dengan peninggalan sejarah lain di sekitarnya.  

Ragam budaya yang dimiliki Maninjau adalah potensi besar yang bisa dikembangkan. Kawasan Maninjau merupakan salah satu kawasan dengan kekayaan budaya yang dapat dikembangkan di Kabupaten Agam. 

Warisan budaya ini diperkaya oleh destinasi wisata yang sudah ada di sekitarnya seperti danau Meninjau dengan semua daya pikatnya, Museum Hamka dan destinasi lainnya. Destinasi ini sudah memiliki akses yang baik, serta fasilitas pendukung wisata lainnya. 

Oleh karena itu, pemerintah daerah beserta pihak-pihak terkait lainnya perlu menelusuri dan menerapkan upaya tertentu guna meningkatkan kapasitas destinasi wisata di kawasan Danau Maninjau. 

Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam upaya ini seperti pengembangan destinasi, produk wisata, fasilitas jalan, dan transportasi dari dan ke lokasi. Pengadaan dan pengembangan pendukung seperti penginapan, pusat informasi wisata, oleh-oleh, serta fasilitas pendukung lainnya perlu menjadi catatan. Kemudian pembentukan dan penguatan kelompok sadar wisata (Pokdarwis) dan pengembangan SDM di lokasi sangat penting dalam hal ini.    

Sebagaimana hal nya destinasi-destinasi wisata yang ada di dunia, wisata Nur Sutan Iskandar tentu saja tidak bisa dikelola dan dikembangkan dengan satu cara saja. Pemangku kepentingan wisata ini dapat menerapkan beragam model dalam hal ini.

Akan tidak ada salahnya kalau dikembangkan melalui penggalian seluruh potensi budaya dengan melibatkan pihak terkait dalam perencanaan, pengelolaan, pemantauan, identifikasi strategi serta tujuan dan penetapan indikator keberhasilan. Wisata sastra Nur Sutan Iskandar perlu dikembangkan dengan meningkatkan jumlah dan kualitas kesusastraan dan budaya seperti kutipan, latar, pakaian daerah, serba-serbi Nur Sutan Iskandar seputar Agam dan di luar Agam, Isu perkawinan di Minangkabau dan kuliner lokal. Wisata yang mengandalkan keberadaan Nur Sutan Iskandar ini perlu ditingkatkan dengan basis kesusastraan, budaya lokal, masyarakat, pendidikan dan sejarah.[•]



[Penulis]
Padang, 14 Juni 2022

#makintahu_Indonesia
×
Kaba Nan Baru Update