“Bajalan luruih indak ‘kan sampai, ka lurah batampuah, ka bukik bakampuah.”
- Pepatah Minangkabau
Pasbana - Di ranah Minang, kisah bukan sekadar cerita pengantar tidur. Ia adalah pusaka. Disampaikan dari mulut ke mulut, dari lapau ke surau, dari mamak ke kemenakan.
Salah satu kisah paling menggigit dan menyentil tentang kecerdikan, loyalitas, dan seni menyiasati hidup adalah Hikayat Cindua Mato — sebuah epik lokal yang menyimpan filosofi mendalam tentang bagaimana orang Minang menempuh hidup, bukan dengan otot semata, tapi juga dengan otak dan hati.
Asal-Usul dan Latar Hikayat: Dua Sahabat, Satu Takdir
Cerita ini berakar dari masa kejayaan Kerajaan Pagaruyuang, negeri asal para raja Minangkabau. Tokohnya ada dua: Dang Tuangku, sang putra mahkota, dan Cindua Mato, seorang rakyat biasa yang tak sekadar hulubalang, tapi juga kawan sejati — laksana kulit dan isi.
Berdua mereka tumbuh di gelanggang, bermain randai, menyigi silat, dan mematangkan rasa hormat dan kesetiaan. Di balik peluh masa muda itu, takdir sedang menyusun skenario besar — ujian tentang cinta, kekuasaan, dan kesetiaan.
Konflik dan Kudeta Hati: Ketika Tunangan Direbut
Kisah mulai bergejolak ketika tunangan Dang Tuangku, Putri Bungsu, tiba-tiba akan dinikahkan dengan Imbang Jayo, seorang tokoh kuat dari luar kerajaan. Dang Tuangku naik darah, tapi tak kuasa membantah ibunya sendiri, Bundo Kanduang, pemangku adat kerajaan yang menerima undangan pernikahan itu dengan berat hati.
Yang tak bisa dikendalikan oleh nalar, kadang bisa ditangani oleh kesetiaan. Maka Cindua Mato, meski patah hatinya untuk sang tuan, tetap diutus membawa seserahan ke pesta pernikahan sang pujaan hati.
Tapi inilah uniknya Minangkabau: jika orang lain menangis diam-diam, Cindua Mato malah memanggil badai. Ia mengubah cuaca, menghujani pesta, dan di tengah kekacauan itu, ia “menculik” Putri Bungsu dan membawanya kembali ke Pagaruyuang.
Penculikan itu bukan tanpa perhitungan — ia adalah aksi protes diam-diam, penuh risiko, penuh makna.
Perang, Kekalahan, dan Strategi “Ilak Salangkah”
Tentu saja, tindakan Cindua Mato membakar bara perang. Imbang Jayo datang mengepung Pagaruyuang. Dang Tuangku siap bertempur. Pertempuran pecah. Tapi Cindua Mato kalah dalam duel dengan pendekar lawan, Tiang Bungkuak. Ia ditawan dan dijadikan budak.
Di sinilah kisah ini berubah dari sekadar cerita kepahlawanan menjadi ajaran hidup penuh siasat. Kekalahan Cindua Mato bukanlah titik akhir, tapi *jalan memutar untuk menang*. Seperti pepatah Minang:
“Ilak salangkah, untuak maju saribu langkah.”
Sebagai budak, Cindua Mato memata-matai kelemahan musuh. Ia temukan bahwa hanya keris tuan-nya sendiri yang bisa membunuh Tiang Bungkuak. Dengan kelicikan setipis benang emas, ia mencuri keris tersebut, menantang duel, dan akhirnya membunuh tuan yang memperbudaknya.
Filosofi dan Relevansi Hari Ini: Jangan Gegabah, Pahami Situasi
Apa makna dari semua ini? Bukan soal penculikan atau kekerasan, tapi tentang bagaimana kecerdikan mengalahkan kekuatan. Cindua Mato mengajarkan bahwa terkadang kita perlu mundur sejenak agar bisa melihat lebih luas, mengambil keputusan yang lebih bijak, dan memetik kemenangan dengan kepala dingin.
Dalam dunia hari ini — dunia yang serba cepat, instan, dan kadang bising — hikayat ini terasa sangat relevan. Entah dalam dunia politik, bisnis, atau bahkan urusan hati, kita diajarkan untuk tidak gegabah, tidak meledak-ledak, tapi mengendapkan masalah hingga matang disiasati.
Nilai Universal: Kesetiaan, Cinta Tanpa Pamrih, dan Kecerdasan Emosional
Hikayat ini melampaui sekat budaya Minang. Ia berbicara tentang:
• Kesetiaan tanpa batas: Cindua Mato tak pernah membelot meski patah hati.
• Cinta yang tak posesif: Dang Tuangku tak menculik, tapi menghargai protokol dan martabat.
• Strategi hidup: Bahwa tak semua kemenangan didapat lewat jalan lurus. Kadang, kita perlu “berbelok sedikit” demi kebaikan besar.
Tradisi di Masa Kini: Masih Adakah Cindua Mato?
Mungkin hari ini tak ada lagi pemuda memanggil badai demi cinta. Tapi roh Cindua Mato masih hidup dalam keseharian orang Minang. Dalam diplomasi nagari, dalam seni randai yang masih dimainkan, dalam cara orang Minang menempuh pendidikan ke rantau demi kembali membangun kampung halaman.
Istilah “ilak salangkah” masih sering terdengar di lapau-lapau, saat orang tua menasihati anak muda agar sabar dan tak melulu ‘main hantam’. Spirit ini pun masih hidup dalam dunia usaha, politik lokal, dan tentu dalam cara bersilat — seni bela diri yang filosofinya bukan menyerang, tapi menghindar dengan cerdas.
Di Mana Cindua Mato dalam Dirimu?
Cerita ini bukan sekadar tentang masa lalu. Ia cermin. Apakah kita cukup sabar dalam menanti waktu yang tepat? Apakah kita cukup cerdas membaca peta kehidupan? Apakah kita bisa tetap setia pada nilai, saat dunia meminta kita menggadaikannya?
Karena dalam hidup ini, siapa tahu, kekalahan hari ini hanyalah ilak salangkah — untuk saribu langkah yang lebih berarti esok hari.Makin tahu Indonesia.
“Nan alah bisa dilawan dek siasat, nan alah kuat dikalahkan dek akal.”
(Yang sudah biasa bisa ditaklukkan oleh siasat, yang sudah kuat bisa dikalahkan oleh akal.) ~Petuah Minang
(*)