JAKARTA, pasbana – Sebuah temuan mengejutkan dari Kementerian Sosial (Kemensos) membongkar borok di balik tirai lembaga kesejahteraan sosial (LKS) di Indonesia.
Angka-angka yang terungkap tak hanya menyentuh akal sehat, namun juga menggugah keprihatinan mendalam: ribuan lembaga yang seharusnya menjadi benteng perlindungan anak, ternyata fiktif, sementara mayoritas anak yang diasuh di dalamnya masih memiliki orang tua.
Menteri Sosial, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), dengan tegas mengungkapkan bahwa dari sekian banyak LKS di Indonesia, lebih dari 2.000 di antaranya terindikasi fiktif—hanya bermodal papan nama tanpa operasional yang jelas. Ironisnya, di tengah maraknya lembaga "palsu" ini, Gus Ipul juga menyingkap fakta lain yang tak kalah memilukan.
"Lebih dari 85 persen anak di panti asuhan yang ada itu ternyata bukan yatim piatu," kata Gus Ipul. "Mereka masih memiliki salah satu atau bahkan kedua orang tua."
Temuan ini secara langsung mematahkan mitos bahwa panti asuhan adalah rumah terakhir bagi anak-anak yang benar-benar sebatang kara.
Kenyataan bahwa sebagian besar anak di panti memiliki keluarga biologis menimbulkan pertanyaan krusial: mengapa mereka berada di sana? Dan apakah biaya yang dikeluarkan oleh negara dan masyarakat untuk mereka benar-benar efisien?
Ketika Legalitas Bukan Jaminan Kualitas
Data Kemensos juga menunjukkan masih banyak LKS yang belum terakreditasi, atau bahkan tidak memenuhi standar.
Gus Ipul mengkritik sistem akreditasi yang selama ini terlalu lemah, hanya berfungsi sebagai formalitas tanpa insentif atau sanksi yang jelas. Akibatnya, LKS enggan meningkatkan kualitas layanan mereka.
"Kalau akreditasi tidak memberi insentif atau sanksi, orang enggan memperbaiki layanan. Ini yang akan kita ubah," tegasnya.
Reformasi sistem akreditasi menjadi agenda utama Kemensos. Tujuannya adalah memastikan bahwa setiap panti asuhan tidak hanya memiliki legalitas, tetapi juga mampu memberikan layanan pengasuhan yang berkualitas, bebas dari kekerasan, perundungan, dan intoleransi.
Solusi Tuntas: Satu Data dan Pengawasan Ketat
Selain reformasi akreditasi, pemerintah juga berkomitmen untuk membenahi sistem penyaluran bantuan sosial (bansos) yang sering kali salah sasaran.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Gus Muhaimin, menambahkan bahwa reformasi ini juga akan menyentuh sistem data.
Penyaluran bansos ke depan akan wajib berbasis Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang dikelola oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Langkah ini diambil untuk mengatasi masalah data yang tercecer dan tidak valid antar kementerian/lembaga, yang selama ini menjadi penyebab utama ketidaktepatan penyaluran bansos.
Dengan reformasi ini, diharapkan tidak hanya panti asuhan yang beroperasi di bawah standar akan ditindak, tetapi juga masyarakat penerima bantuan bisa benar-benar mendapatkan haknya. Ini adalah langkah besar menuju transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan sosial yang lebih kuat di Indonesia.(*)