Notification

×

Iklan

Iklan

Mushaf Alquran Tulis Tangan dari Bungo Tanjung: Merayakan Merdeka dengan Cara yang Berbeda

21 Agustus 2025 | 12:04 WIB Last Updated 2025-08-21T05:04:40Z


Tanah Datar, pasbana  – Ada yang istimewa di Nagari Bungo Tanjung, Kecamatan Batipuh, saat perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia tahun ini. Jika di banyak daerah semarak kemerdekaan dirayakan dengan lomba panjat pinang, tarik tambang, atau pawai kemerdekaan, masyarakat Bungo Tanjung memilih cara yang lebih mendalam: menulis Mushaf Alquran secara bersama-sama.

Mengusung tema “Satu Orang Satu Halaman, Satu Hari Satu Alquran”, lebih dari 300 pelajar dan guru setempat duduk bersama, menorehkan ayat demi ayat dengan penuh ketelitian dan kesabaran. Hasil karya tulis tangan ini nantinya akan diserahkan ke Museum Mushaf Tulis Tangan di Kabupaten Tanah Datar—sebuah warisan berharga yang akan dikenang lintas generasi.

Dari Pentas Seni ke Mushaf Alquran

Tradisi ini bukan muncul begitu saja. Wali Nagari Bungo Tanjung, Yudisthira Anuggraha, S.Pd, NLP, menjelaskan bahwa awalnya kegiatan tahunan bertajuk Kurenah Bungo Tanjung ini berbentuk pentas seni. Namun seiring waktu, muncul kesadaran bahwa seni dan budaya perlu dipadukan dengan nilai keagamaan.

“Kita ingin ada warisan yang lebih kuat, yang tak hanya menghibur, tapi juga mendidik. Dari situlah muncul ide menulis Mushaf Alquran bersama-sama. Dan alhamdulillah, tahun ini kita bisa wujudkan satu nagari, satu mushaf,” ungkap Yudisthira.

Di nagari ini, terdapat sekitar 490 anak didik yang belajar di TPA dan TPSA. Jumlah yang cukup besar ini menjadi modal penting untuk menghidupkan kegiatan keagamaan dan tradisi menulis mushaf secara kolektif.

Apresiasi dari Bupati

Bupati Tanah Datar, Eka Putra, SE, MM, hadir langsung dalam peresmian kegiatan ini. Ia menyebut tradisi yang lahir dari Bungo Tanjung sebagai “perayaan kemerdekaan yang paling berbeda sekaligus membumi.”



“Anak-anak dari TK, SD, hingga SLTP menulis ayat Alquran dengan tangan mereka sendiri. Ini luar biasa. Mereka tidak hanya menulis, tapi juga membaca dan memahami. Ini bukan sekadar karya, tapi bentuk pengamalan,” ujar Eka Putra.

Sebelumnya, di Tanah Datar juga sempat digelar penulisan mushaf Alquran oleh kelompok ibu-ibu lansia. Hasilnya kini sudah tersimpan di museum mushaf Alquran. “Minat masyarakat kita terhadap Alquran memang sangat tinggi. Dan itu patut kita syukuri,” tambah Bupati.

Lebih dari Sekadar Perayaan


Tradisi menulis mushaf Alquran sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Di beberapa daerah, seperti di Pondok Pesantren Al-Asyariyyah Kalibeber, Wonosobo, atau pesantren di Kudus dan Madura, penulisan mushaf dilakukan secara kolektif oleh para santri sebagai bentuk latihan sekaligus ibadah.

Namun, menjadikannya bagian dari perayaan kemerdekaan adalah langkah kreatif yang jarang ditemui.
Sejarawan Islam, Azyumardi Azra (alm), pernah menuliskan bahwa tradisi menyalin Alquran merupakan salah satu bentuk literasi Islam yang telah ada sejak abad ke-13 di Nusantara. 

Manuskrip-manuskrip tua Alquran yang kini tersimpan di Museum Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal (TMII) atau Perpustakaan Nasional membuktikan bahwa menulis mushaf bukan hanya soal menyalin, tetapi juga menjaga identitas dan spiritualitas bangsa.




Dengan kata lain, apa yang dilakukan masyarakat Bungo Tanjung ini adalah bagian dari upaya merawat jejak literasi Islam Nusantara di era modern.

Tak hanya soal mushaf, pada kesempatan itu Bupati Eka Putra juga meluncurkan Pusat Informasi Terpadu Anjungan Responsif Nagari Bungo Tanjung atau “Layanan Pintar Nagari.” Program ini diharapkan bisa mempermudah masyarakat dalam mengakses berbagai layanan publik, mulai dari informasi administrasi, layanan digital, hingga kebutuhan sosial.


Warisan untuk Generasi Mendatang


Tradisi Mushaf Alquran tulis tangan di Bungo Tanjung menjadi bukti bahwa kemerdekaan bisa dirayakan dengan cara yang berbeda. Tidak selalu dengan gegap gempita lomba atau pesta rakyat, tapi juga dengan aktivitas yang menyejukkan jiwa, memperkuat iman, sekaligus mewariskan nilai luhur kepada generasi berikutnya.

“Kalau biasanya anak-anak merdeka identik dengan lomba balap karung, di sini mereka merayakannya dengan menulis ayat suci. Itu artinya kita merdeka bukan hanya secara lahir, tapi juga batin,” kata seorang warga yang ikut mendampingi anaknya menulis mushaf.

Dan mungkin, inilah salah satu makna kemerdekaan yang paling hakiki: bebas untuk mengekspresikan cinta tanah air dengan cara yang paling sesuai dengan jati diri bangsa—sekaligus tak melupakan nilai keagamaan yang diwariskan para pendahulu. Makin tahu Indonesia. (*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update