Padang, pasbana — Ada senyum yang merekah dari wajah nenek Siti, 74 tahun, saat menerima paket bantuan dari Pemerintah Kota Padang. Ia bukan sekadar menerima beras dan susu, tapi juga harapan. Di tengah keterbatasan fisik dan ekonomi, bantuan itu bagai sinar terang di tengah mendung kehidupan.
Di sebuah aula sederhana milik Dinas Sosial Kota Padang, Selasa pagi (5/8), ratusan penyandang disabilitas, lanjut usia (lansia), dan anak-anak luar panti hadir menerima bantuan sosial. Bukan hanya sekadar seremonial. Ini adalah bentuk nyata kepedulian, yang menjadi bagian penting dari denyut kota Padang hari ini.
Dalam kegiatan bertajuk penyaluran Bantuan Permakanan dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP), sebanyak 973 penerima manfaat mendapat bantuan yang bersumber dari APBD Kota Padang Tahun 2025. Program ini digagas oleh Dinas Sosial Kota Padang sebagai bagian dari misi meningkatkan kesejahteraan kelompok rentan.
“Negara harus hadir untuk memberi kemudahan atas kelebihan dan kekurangan kita,” ujar Wali Kota Padang Fadly Amran, dalam sambutannya yang menyentuh hati. Ia menambahkan, bantuan ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, tetapi juga sebagai dorongan moral dan ekonomi agar para penerima bisa bangkit dan hidup lebih mandiri.
Tak semua orang tahu, betapa beratnya hidup sebagai disabilitas atau lansia tanpa dukungan keluarga maupun fasilitas. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki sekitar 22 juta penyandang disabilitas pada tahun 2023. Sebagian besar masih belum memiliki akses setara terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Padang mencoba menjawab tantangan itu. Melalui program ini, Pemko Padang menyalurkan bantuan dengan rincian yang tak main-main:
110 penyandang disabilitas,
110 lansia,
700 anak luar panti, dan
53 disabilitas penerima kursi roda.
Tak hanya jumlah penerimanya yang besar, isi bantuannya juga disesuaikan dengan kebutuhan kelompok masing-masing. Misalnya, paket permakanan untuk disabilitas terdiri dari beras, gula, kacang hijau, roti kaleng, dan susu dengan nilai per paket mencapai Rp680.000. Total anggaran untuk disabilitas saja mencapai Rp74,8 juta.
Sementara bantuan untuk lansia terdiri dari bahan makanan senilai Rp586.000 per paket, dan anak luar panti mendapat paket senilai Rp243.000 per anak. Bantuan ini tak hanya menjawab kebutuhan nutrisi dasar, tetapi juga memperhatikan aspek kelayakan dan gizi, terutama bagi lansia dan anak-anak.
Dan yang lebih menarik, bantuan UEP menjadi jantung dari pemberdayaan ekonomi. Sebanyak 11 penyandang disabilitas dan 11 lansia menerima modal usaha mikro—mulai dari modal untuk usaha warung, dagangan kecil, hingga kegiatan produktif rumahan. Nilai totalnya mencapai Rp138 juta lebih.
Tak ketinggalan, kursi roda sebagai alat bantu mobilitas diberikan kepada 53 disabilitas, senilai total Rp159 juta.
Apa yang dilakukan Pemko Padang sesungguhnya mencerminkan langkah maju dalam membangun kota yang inklusif. Ini sejalan dengan visi Sustainable Development Goals (SDGs), terutama poin 10 tentang mengurangi kesenjangan dan poin 3 tentang kesehatan dan kesejahteraan.
Tak ketinggalan, kursi roda sebagai alat bantu mobilitas diberikan kepada 53 disabilitas, senilai total Rp159 juta.
Apa yang dilakukan Pemko Padang sesungguhnya mencerminkan langkah maju dalam membangun kota yang inklusif. Ini sejalan dengan visi Sustainable Development Goals (SDGs), terutama poin 10 tentang mengurangi kesenjangan dan poin 3 tentang kesehatan dan kesejahteraan.
Menurut UNICEF Indonesia, anak-anak yang hidup di luar panti sering kali menjadi kelompok yang paling tidak terlihat dalam sistem perlindungan sosial. Bantuan seperti ini menjadi penting untuk memastikan mereka tetap mendapat perhatian dan akses terhadap hak dasar.
Kepala Dinas Sosial Kota Padang, Heriza Syafani, menyampaikan harapan serupa. “Kami tidak hanya memberi bantuan, tapi juga ingin menumbuhkan kembali kepercayaan diri mereka. Bahwa mereka berharga, dan mereka bisa berkontribusi.”
Bagi masyarakat umum, cerita ini mungkin hanya sekadar program tahunan. Tapi bagi mereka yang menerima, ini bisa menjadi titik balik. Sebuah pengakuan bahwa mereka tidak sendirian, bahwa negara dan pemerintah kota hadir di tengah kehidupan mereka.
Dan bagi kita semua, ini menjadi pengingat—bahwa kota yang baik bukan hanya dibangun oleh gedung-gedung tinggi dan jalan yang mulus, tapi oleh perhatian kecil yang menyentuh hati mereka yang paling membutuhkan.(*/rel)