Notification

×

Iklan

Iklan

Taubat: Senja yang Lebih Indah dari Fajar

09 Agustus 2025 | 13:30 WIB Last Updated 2025-08-09T06:30:57Z


Pasbana - Pernahkah Anda memperhatikan langit senja? Warna oranye keemasan yang menenangkan, lembut namun mempesona. Anehnya, bagi sebagian orang, senja terasa lebih indah daripada fajar. 

Dalam dunia spiritual, taubat bisa dibilang seperti senja—indah karena lahir setelah perjalanan panjang, melewati panas dan debu kesalahan, lalu menemukan ketenangan di ujung hari.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggambarkan kegembiraan Allah saat hamba-Nya bertaubat dengan perumpamaan yang sangat manusiawi. 

Beliau bersabda (HR. Muslim):
“Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya daripada seseorang yang kehilangan untanya di padang pasir yang tandus. Unta itu membawa seluruh bekal hidupnya—makanan dan minuman—hingga ia putus asa. Lalu tiba-tiba ia menemukannya kembali. Saking gembiranya, ia salah ucap: ‘Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-Mu.’”

Bayangkan, kegembiraan yang membuat lidah terpeleset seperti itu, dan Allah menggambarkan kegembiraan-Nya lebih besar lagi

Artinya, setiap langkah kembali menuju-Nya adalah pesta cinta yang dirayakan di langit.

Pelajaran dari Para Sahabat


Sejarah para sahabat Nabi menyimpan kisah-kisah taubat yang menggetarkan hati. Salah satunya adalah Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang sempat absen dalam Perang Tabuk.

Akibatnya, Rasulullah dan seluruh penduduk Madinah “mengisolasi” beliau selama 50 malam. Ka’ab merasakan pedihnya kehilangan dukungan sosial—rasa yang mungkin kita alami saat “dibisukan” oleh semua orang di sekitar.

Hingga akhirnya turun ayat pengampunan dalam QS. At-Taubah ayat 118. Ka’ab menangis haru, bahkan berniat menyedekahkan seluruh hartanya. Namun Rasulullah berkata bijak, “Simpanlah sebagian hartamu, itu lebih baik bagimu.” 

Sebuah pesan penting: taubat bukan berarti kehilangan segalanya, tetapi justru belajar mengelola hidup lebih baik.
Kisah lain datang dari Abu Lubabah radhiyallahu ‘anhu.

Setelah melakukan kesalahan strategis dengan memberi isyarat pada Bani Quraizhah, ia begitu menyesal hingga mengikat dirinya di tiang masjid, bersumpah tidak akan lepas sampai Allah mengampuninya.

Enam malam berlalu sebelum ayat pengampunan (QS. At-Taubah ayat 102) turun. Rasulullah sendiri yang melepas ikatannya, membebaskan tubuhnya—dan hatinya.


Taubat dalam Pandangan Ulama


Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menyebut taubat sebagai “maqam pertama dan terakhir” dalam perjalanan spiritual. Dalam kitab Madarijus Salikin, beliau menulis:
“Dengan taubat, pintu menuju Allah dibuka. Ia adalah maqam teragung, yang paling utama, wajib, dan menjadi awal sekaligus akhir dari semua maqam hamba.”

Artinya, taubat bukan sekadar ritual sesaat, melainkan siklus yang terus berulang. Setiap kali kita jatuh, kita kembali. Dan setiap kembali, kita naik satu anak tangga menuju kedewasaan iman.

Bahkan riset psikologi modern—misalnya yang dipublikasikan oleh Journal of Positive Psychology—menunjukkan bahwa penyesalan yang disertai tindakan perbaikan (mirip konsep taubat) dapat meningkatkan rasa damai, mengurangi stres, dan memperbaiki kualitas hubungan sosial. 

Pesan Abadi: Jangan Putus Asa


Dalam QS. Az-Zumar ayat 53, Allah memberi jaminan:
“Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.”

Ayat ini ibarat payung raksasa yang menaungi semua orang berdosa, tanpa kecuali. Pesannya sederhana: selama nafas masih ada, kesempatan kembali tetap terbuka.

Mengubah Penyesalan Jadi Cahaya


Taubat bukan hanya soal menangis atau memohon ampun. Ia adalah proses tiga langkah:
Mengakui kesalahan dengan jujur, tanpa mencari alasan.
Menyesal dengan tulus, bukan sekadar takut hukuman.

Berjanji untuk berubah, dan mengupayakan langkah konkret agar tidak mengulang kesalahan.
Seperti mutiara yang dibersihkan dari lumpur, jiwa yang bertaubat akan berkilau, membawa cahaya yang menenangkan bagi diri sendiri dan orang lain.

Pulang Sebelum Senja Selesai


Hidup kita seperti perjalanan panjang menuju rumah. Kadang kita tersesat, kadang berhenti terlalu lama di persimpangan yang salah. Taubat adalah peta pulang itu—dan kabar baiknya, peta ini selalu tersedia, tanpa biaya, tanpa syarat selain kesungguhan.

Jadi, sebelum senja terakhir tiba dan langit gelap menutup hari, mari kita pulang. Karena tak ada keindahan yang melebihi jiwa yang kembali bersih, bercahaya, dan siap disambut oleh Sang Pemilik Hidup.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update