Notification

×

Iklan

Iklan

Diplomasi ala Minang: Dari Surau, Lapau, hingga Panggung Dunia

02 September 2025 | 22:07 WIB Last Updated 2025-09-03T01:07:20Z


Pasbana - Apa yang membuat orang Minangkabau begitu lihai ketika berbicara, berdiskusi, bahkan bernegosiasi? 

Banyak orang percaya jawabannya terletak pada dua ruang belajar khas Minang: surau dan lapau

Surau adalah tempat anak muda belajar agama, nilai hidup, dan kebijaksanaan. 

Sementara lapau—warung kopi ala Minang—jadi ruang diskusi terbuka, tempat orang berbagi cerita, debat ringan, hingga merumuskan jalan keluar masalah sehari-hari.

Dari sinilah lahir kebiasaan berpikir kritis sekaligus santun, yang ternyata terbawa sampai ke ranah diplomasi. 

Bukan kebetulan jika banyak tokoh Minang menjadi bagian penting dalam diplomasi dan politik Indonesia.

Filosofi “Iyoan dek Urang, Laluan dek Awak


Orang Minang punya pepatah yang sangat populer dalam soal komunikasi: “Iyoan dek urang, laluan dek awak.” 

Secara sederhana, pepatah ini mengajarkan bahwa sebelum menyampaikan pendapat, kita perlu mendengarkan dulu lawan bicara, memahami cara pandang mereka, dan mengiyakan dulu apa yang masuk akal. 

Baru setelah itu, pelan-pelan kita mengajukan jalan pikiran sendiri.
Cara ini bukan sekadar sopan santun, tapi strategi. 

Dengan membuat lawan bicara merasa dihargai, diskusi pun jadi kondusif. Bukankah itu inti diplomasi? 

Tidak ada kesepakatan tanpa perbedaan, dan tidak ada perbedaan yang bisa disatukan tanpa saling mendengar.

Dari Ranah Minang ke Diplomasi Nasional


Filosofi ini terbukti kuat. Sejarah Indonesia mencatat banyak nama besar dari Minangkabau yang berperan penting di bidang politik, diplomasi, dan pergerakan nasional. 

Sebut saja Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama sekaligus tokoh perundingan kemerdekaan Indonesia di meja internasional. 

Ada juga Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama RI yang dikenal cerdas berdialog dengan bangsa-bangsa lain.

Keduanya—dan banyak tokoh Minang lain—dikenal bukan karena suara lantang atau sikap keras kepala, melainkan karena kemampuan mereka menjembatani perbedaan dengan argumentasi tajam namun menenangkan. 

Seperti kata pepatah tadi: Senjata orang Minang bukan otot, melainkan otak dan mulutnya.

Lapau: Ruang Demokrasi Mini


Kalau hari ini kita melihat orang Minang lihai berargumen di forum nasional maupun internasional, jangan kaget. 

Mereka sudah “berlatih” sejak kecil. Budaya lapau mengajarkan mereka bagaimana menegosiasikan pendapat di ruang publik. 

Di lapau, tidak ada sekat usia atau status. Siapa saja boleh bicara, asal bisa memberi alasan yang logis dan tidak menyinggung.

Sosiolog menyebut tradisi ini sebagai bentuk “demokrasi mikro”. Dari obrolan di lapau itulah lahir kemampuan untuk menyampaikan pikiran dengan runtut, mendengar argumen lawan, dan tetap menjaga suasana cair. 

Inilah modal sosial yang kemudian terbawa hingga ke ruang diplomasi.

Relevansi Hari Ini


Di tengah dunia yang kian kompleks, cara Minangkabau berkomunikasi terasa semakin relevan. Saat banyak orang terjebak pada perdebatan keras tanpa arah, pepatah “iyoan dek urang, laluan dek awak” mengingatkan kita: dengarkan dulu, hargai dulu, baru ajukan gagasan kita.

Diplomasi bukan monopoli pejabat tinggi negara. Dalam kehidupan sehari-hari pun, baik di kantor, sekolah, maupun media sosial, kearifan komunikasi ala Minang ini bisa jadi inspirasi. 

Dengan cara itu, konflik bisa lebih mudah diredakan, dan kesepahaman lebih cepat tercapai.Makin tahu Indonesia. (*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update