Notification

×

Iklan

Iklan

Mak Tumi Terjang Kepongahan

02 September 2025 | 14:32 WIB Last Updated 2025-09-02T07:32:14Z


Pasbana - Pagi itu udara Jakarta pekat, seakan baru selesai dipanggang di tungku raksasa. Asap knalpot bercampur bau gorengan dari gerobak yang berjejer di bawah jembatan layang. 

Orang-orang bergegas dengan wajah yang sama: letih. Tapi di rumah kontrakan kecil di gang sempit Kebayoran Baru, seorang perempuan tua sibuk mengikat jarik di pinggang, menyelipkan beberapa lembar kertas doa di dalam lipatan mukena yang telah menguning di ujung.

Namanya Mak Tumi, enam puluh dua tahun. Rambutnya putih berantakan, kulitnya keriput dengan garis-garis yang seperti peta perjalanan panjang: dari kampung kecil di Indramayu ke Jakarta yang tak pernah ramah, dari rumah tangga gagal hingga anak-anak yang kini hidup sendiri-sendiri dengan pekerjaan serabutan.

Hari itu, tanpa sepengetahuan siapa pun, Mak Tumi bersiap menuju Senayan.

1. Status Facebook (ditulis jam 06.43 WIB)

“Kalau suara ibu-ibu kayak saya dianggap kecil, biarlah saya teriak keras-keras. Biar mereka dengar. Hidup bukan cuma soal janji di televisi.”
— Tuminah binti Warsinah

Mak Tumi menutup ponselnya. Ia tidak terlalu mengerti cara main Facebook, tapi cucu tetangganya yang sering meminjami kuota berkata: “Nenek, kalau tulis status itu bisa dibaca orang banyak.” Maka ia menulis dengan polos, seolah-olah sedang curhat ke langit.

Di dalam rumah kontrakan, anak sulungnya, Jalu, baru saja berangkat kerja sebagai ojek online. Anak bungsunya, Yani, sudah pindah ke Depok bersama suaminya. Tak ada yang tahu rencana Mak Tumi hari itu.

2. Jalan ke Senayan

Naik Kopaja tua, Mak Tumi menempuh perjalanan yang panas dan berisik. Di dalam bus, ia duduk di samping mahasiswa yang membawa poster besar bertuliskan “Bubarkan DPR, Kembalikan Kedaulatan Rakyat!”

Mahasiswa itu melirik perempuan tua di sampingnya.
“Emak mau ke mana?”
“Ke Senayan juga,” jawab Mak Tumi singkat.
“Turut aksi?”
“Iya. Mau ngomong sama mereka, orang gedung itu.”

Mahasiswa itu terdiam, lalu tersenyum kecut. Ia kira perempuan seusia Mak Tumi biasanya mengurusi cucu, atau jualan nasi uduk di rumah. Bukan ikut aksi di depan DPR.

3. Fragmen Kenangan

Mak Tumi masih ingat jelas: malam-malam listrik mati di kampungnya dulu. Suaminya pergi begitu saja ketika anak-anak masih kecil. Ia jadi ibu tunggal, mengurus tiga anak dengan bekerja sebagai buruh cuci. 

Kadang ia berdoa sambil menjemur pakaian basah: “Ya Allah, jangan kasih saya malu. Biarkan anak-anak bisa makan.”

Di Jakarta, nasib tak lebih baik. Harga sembako naik, kontrakan kian mahal, tapi upah cucian tetap segitu-gitu saja. Televisi hanya memamerkan pejabat yang tertawa di meja makan besar.
Itulah alasan ia berangkat hari ini. Ada yang harus ia katakan.

4. Suasana Aksi

Di depan Gedung DPR/MPR Senayan, ribuan orang telah berkumpul. Spanduk, bendera, teriakan. Suara toa bercampur bau keringat, asap rokok, dan debu yang terinjak-injak. Barisan polisi dengan tameng berjejer, wajah-wajah mereka kaku di balik helm.

Mak Tumi berdiri di antara kerumunan mahasiswa, buruh, petani, dan pelajar. Jariknya sudah basah oleh keringat, tapi matanya nyala. Ia menggenggam poster sederhana yang ia tulis dengan spidol hitam:
“IBU-IBU JUGA MANUSIA, KAMI TIDAK BUTUH JANJI, KAMI BUTUH HIDUP.”

Orang-orang di sekitarnya menoleh. Ada yang terharu, ada yang bersorak.

5. Percakapan WhatsApp Grup Keluarga (09.27 WIB)

Jalu:
Bu, di mana? Katanya mau ke pasar?
Mak Tumi:
(tidak dibaca, karena HP disimpan di lipatan jarik)
Yani:
Bu, jangan keluar jauh-jauh, lagi panas jalanan. Minum obat darah tinggi, ya.
Centang dua, belum dibaca.

6. Konfrontasi

Ketika barisan mahasiswa mulai mendorong pagar besi, polisi mengangkat tameng. Suara benturan keras. Gas air mata ditembakkan. Orang berlarian. Teriakan memekakkan telinga.

Tapi justru saat itulah Mak Tumi maju. Ia berjalan perlahan ke depan barisan, jarik berkibar, poster masih diangkat tinggi.

“Pak! Anak-anak saya lapar! Jangan cuma janji!” teriaknya dengan suara serak, tapi tajam menusuk.
Polisi di depannya kaget, ragu sejenak. Sebagian massa berhenti, memperhatikan ibu tua yang berdiri sendirian di depan pagar. Kamera ponsel berputar ke arahnya.


7. Fragmen Wawancara (dari video yang viral di Twitter, 11.15 WIB)

Reporter: “Emak, kenapa ikut aksi ini?”

Mak Tumi: “Karena saya ibu. Kalau ibu diam, siapa lagi yang ngomong? Mereka di gedung itu sudah lupa sama rakyat. Lupa sama kita yang makan cuma sekali sehari. Saya sudah tua, tak apa-apa kalau besok mati. Yang penting anak saya, cucu saya, jangan hidup susah terus.”

8. Malam Hari di Kontrakan

Jalu pulang dengan wajah panik. Ia baru tahu dari media sosial bahwa ibunya viral. “Bu! Kenapa sih harus ikut-ikutan begitu? Kalau tadi Ibu kenapa-kenapa, gimana?”

Mak Tumi duduk di dipan bambu, kaki pegal, tapi matanya tenang.

“Jal, kamu tiap hari narik ojek panas-panasan. Yani tiap bulan bingung bayar kontrakan. Kalau saya diam, kapan ada yang dengar?”

Anak sulungnya terdiam. Marah bercampur kagum. Ia tahu ibunya lugu, tapi juga keras kepala.

9. Status Facebook Malam Itu (20.47 WIB)

“Hari ini saya berdiri di depan pagar tinggi. Ternyata pagar itu bukan cuma besi, tapi jarak antara mereka dan kita. Saya hanya ingin bilang: jangan lupa, rakyat juga manusia.”
Tuminah binti Warsinah


10. Renungan

Berhari-hari setelah aksi itu, wajah Mak Tumi berseliweran di media sosial. Ada yang memuji heroisme, ada yang mencibir. Sebagian menyebutnya ikon perlawanan, sebagian lain bilang hanya “ibu-ibu tersesat.”

Tapi di dalam hatinya, Mak Tumi tak butuh gelar apa-apa. Ia hanya ingin suaranya sampai.
Di malam sunyi, sebelum tidur, ia sering bergumam: “Mungkin saya cuma titik kecil. Tapi kalau titik kecil ini tak pernah ada, garis besar itu tak akan pernah lengkap.”

Beberapa bulan kemudian, kondisi hidup tak banyak berubah. Harga beras tetap naik, kontrakan tetap mahal, anak-anak tetap kerja keras. Tapi ada sesuatu yang berbeda: di kampung-kampung padat Jakarta, orang mulai menyebut nama Mak Tumi sebagai simbol keberanian.

Ia tak pernah merasa dirinya pahlawan. Ia tetap mencuci baju tetangga, tetap ke pasar membawa tas anyaman. Tapi di dadanya ada perasaan lega: ia sudah menyeberang jalan, menembus pagar besi, dan meninggalkan jejak kecil di suara zaman.(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update