Pasbana - Pasar saham sering disebut sebagai “arena pertarungan” antara investor ritel dan para pemain besar.
Tidak jarang, muncul anggapan bahwa jika investor ritel (retail) cut loss, harga saham justru terbang, sementara ketika retail beramai-ramai membeli, harga malah turun. Pertanyaannya: benarkah teori ini?
Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan pihak tertentu, melainkan untuk edukasi agar investor ritel lebih kritis membaca dinamika pasar.
Karena pada akhirnya, semua yang terjadi di bursa bermuara pada satu hal: uang.
Pasar Saham Itu Dinamis
Salah satu kesalahan terbesar investor pemula adalah menganggap pasar selalu berjalan dengan pola tetap.
Padahal, strategi market maker (pelaku besar penggerak pasar) terus berkembang mengikuti tren.
Contoh sederhana, saat tren FCA (full call auction) ramai diperbincangkan, banyak saham kecil (under Rp50 miliar) tiba-tiba diangkat beramai-ramai.
Tak lama berselang, harga-harga itu justru serempak turun. Siapa yang jadi korban? Tentu saja mereka yang masuk karena FOMO (fear of missing out).
Inilah bukti bahwa strategi lama bisa segera berubah, demi menjaga keuntungan pemain besar. Retail yang lengah, sering kali menjadi tumbalnya.
5 Pola “Permainan” di Pasar Saham yang Jarang Disadari Retail
Offer Tebal = Sinyal Breakout? Belum Tentu
Banyak retail melihat antrean jual (offer) tebal sebagai tanda harga akan ditembus.
Faktanya, market maker bisa sengaja menaruh “tembok” agar investor percaya akan terjadi breakout, lalu diam-diam melakukan distribusi atau fake breakout.
Distribusi tapi Harga Naik Terus
Ada kalanya saham tetap naik meski sudah didistribusikan. Kok bisa?
Karena likuiditas kecil membuat harga lebih mudah digerakkan.
Market maker bisa menjual bertahap sambil tetap mendorong harga ke atas, menunggu “ikan paus” atau investor besar lain masuk, lalu dilepas semua barangnya. Retail FOMO sering kali terjebak di puncak.
Broker Retail Beli, Saham Turun
Mitos yang beredar: kalau broker retail beli, harga pasti turun.
Padahal, banyak market maker yang sengaja menggunakan broker retail untuk menyamar, seolah-olah retail yang sedang belanja. Faktanya, justru mereka yang sedang melepas barang.
Perpindahan Antarbroker Tanpa Terlihat di Pasar Reguler
Market maker bisa memindahkan saham antarbroker, bahkan lewat pasar negosiasi.
Tiba-tiba saja, terlihat broker tertentu menjual besar padahal tak pernah akumulasi sebelumnya. Ini adalah “seni” pasar yang jarang disadari retail.
Info Bocoran “A1” yang Terlalu Bagus
Banyak investor tergiur info “A1” alias bocoran saham yang katanya pasti naik.
Pertanyaan kritisnya: jika info itu benar-benar emas, kenapa harus dibagikan gratis ke publik?
Realitanya, tidak ada “makan siang gratis” di pasar saham. Retail yang percaya mentah-mentah sering kali jadi korban distribusi.
Apakah Fundamental Sudah Mati?
Belakangan, muncul anggapan bahwa “fundamental is dead”. Saham gorengan dan saham tanpa dukungan kinerja keuangan justru naik lebih kencang.
Akibatnya, portofolio investor fundamental sering kalah dari IHSG atau saham-saham momentum.
Namun, menurut saya, fundamental tetap hidup. Nilai perusahaan (valuasi, dividen, prospek bisnis) tetap menjadi fondasi harga saham jangka panjang.
Hanya saja, ketika bukan “momennya”, investor fundamental harus sabar menunggu dan menyiapkan strategi.
Pelajaran untuk Retail
Jangan polos membaca pergerakan pasar.
Jangan mudah percaya info bocoran yang terlalu manis.
Kenali pola-pola distribusi dan jebakan market maker.
Selalu gunakan money management untuk mengelola risiko.
Jika memilih fundamental, bersabarlah; jika memilih momentum, jangan lupa disiplin cut loss.
Seperti kata pepatah, pasar saham itu “permainan uang dan psikologi”.
Retail yang belajar membaca pola dan tidak terbawa arus FOMO akan punya peluang lebih besar bertahan.
Pasar saham memang bukan tempat yang sepenuhnya adil. Tapi dengan literasi yang baik, investor ritel bisa mengurangi risiko jadi korban permainan.
Pada akhirnya, yang terpenting bukan sekadar mengejar cuan instan, melainkan bagaimana kita bisa menjadi investor yang lebih kritis, sabar, dan disiplin.
Teruslah belajar, asah kemampuan analisis, dan jangan berhenti meningkatkan literasi finansial.
Karena dalam investasi, pengetahuan adalah senjata terbaik untuk bertahan hidup di “hutan rimba” pasar modal.(*)