Pasbana - Dalam beberapa bulan terakhir, euforia terhadap emas kembali menggema. Di grup WhatsApp keluarga, di media sosial, bahkan di obrolan warung kopi, banyak yang bercerita tentang “cuan dari emas”.
Harga emas yang melesat hingga naik sekitar 42% dalam setahun terakhir membuat banyak orang tergoda untuk ikut membeli, bahkan ketika harganya sudah berada di puncak.
Namun, benarkah beli emas selalu untung?
Mari kita bedah bersama — dengan data, logika, dan sedikit cerita pasar.
Mari kita bedah bersama — dengan data, logika, dan sedikit cerita pasar.
Emas: Dari Simbol Kekayaan Menjadi Alat Trading Cepat
Sejak zaman Mesir kuno, emas dikenal sebagai safe haven — aset yang dianggap paling aman di tengah ketidakpastian ekonomi.
Namun kini, perannya mulai bergeser. Banyak investor ritel membeli emas bukan lagi sebagai pelindung nilai, melainkan alat trading untuk cari cuan cepat.
Fenomena ini bukan hal baru. Sejarah mencatat bahwa setiap kali harga emas naik terlalu cepat, euforia sering kali diikuti penyesalan.
Contohnya pada tahun 1980 dan 2011, harga emas sempat “spike” atau melonjak tajam. Tapi setelah itu, harganya stagnan atau bahkan turun selama bertahun-tahun.
Berdasarkan data dari buku Hot Commodities karya Jim Rogers, harga emas mencapai puncaknya sekitar $600 per ons pada 1980, dan butuh 25 tahun—ya, dua dekade lebih—untuk menembus level itu lagi di tahun 2005.
Bayangkan, menunggu 25 tahun hanya untuk “balik modal”.
Saat Semua Orang Beli, Siapa yang Akan Jadi Pembeli Berikutnya?
Logika pasar sederhana: ketika semua orang sudah membeli, maka tidak banyak pembeli baru tersisa untuk mendorong harga lebih tinggi.
Fenomena “ikut-ikutan beli emas di pucuk” sering kali berakhir pahit. Bahkan di aset yang dianggap aman sekalipun, kamu bisa nyangkut kalau beli di harga tertinggi.
Sebagai perbandingan, di periode 1980-an itu, pasar saham AS (Dow Jones Industrial Average) justru lesu karena krisis energi dan inflasi tinggi. Uang pun berpindah ke emas. Tapi setelah situasi ekonomi membaik, arus modal berbalik lagi ke saham.
Artinya, tidak ada aset yang selalu menang. Emas pun punya siklusnya sendiri.
Pertimbangkan “Opportunity Cost”
Memegang emas selama 25 tahun tanpa pertumbuhan berarti kehilangan banyak peluang di aset lain. Dalam dunia investasi, ini disebut opportunity cost — kerugian akibat tidak menempatkan modal pada instrumen yang lebih produktif.
Misalnya, jika pada 1980-an kamu menaruh uang di saham-saham besar AS, nilai investasimu bisa tumbuh berlipat-lipat dibanding emas yang stagnan.
Emas vs Perak: Rasio yang Mulai Menarik
Investor berpengalaman seperti Jim Rogers dan Robert Kiyosaki kini mulai melirik perak (silver).
Secara historis, rasio harga emas terhadap perak berkisar 25x–100x. Saat ini, rasio itu mendekati batas atas, artinya secara teori perak berpotensi mengejar ketertinggalannya terhadap emas.
Ini bukan rekomendasi beli, tapi pertanda penting bahwa rotasi dari emas ke perak mungkin sedang terjadi.
Tips untuk Investor Ritel
Jangan FOMO (Fear of Missing Out). Jika semua orang sudah bicara soal emas, mungkin sudah terlambat untuk masuk.
Pahami tujuan investasi. Emas cocok sebagai pelindung nilai jangka panjang, bukan alat trading harian.
Diversifikasi. Jangan menaruh semua uang di satu aset. Kombinasikan dengan saham, reksa dana, obligasi, atau komoditas lain.
Perhatikan timing. Beli saat sepi, jual saat ramai — prinsip klasik yang masih relevan hingga kini.
Apakah beli emas pasti untung?
Tidak selalu. Dalam jangka panjang, emas memang menjaga nilai aset, tapi dalam jangka pendek, ia bisa naik-turun tajam seperti instrumen lain.
Jadi, sebelum membeli emas hanya karena “katanya pasti untung”, pastikan kamu tahu kenapa, kapan, dan untuk apa kamu membelinya.
Emas bisa jadi pelindung nilai yang baik, tapi tanpa strategi yang tepat, bisa juga jadi jebakan berkilau.(*)




