Notification

×

Iklan

Iklan

Harun Zain: Cendekia dari Ranah Minang yang Menyemai Ilmu dan Pengabdian

13 Oktober 2025 | 08:31 WIB Last Updated 2025-10-13T01:31:22Z


Pasbana - Di sebuah rumah sederhana di Pariaman, Sumatera Barat, pada 1 Maret 1927, lahirlah seorang anak lelaki yang kelak namanya tercatat dalam sejarah pendidikan dan pemerintahan Indonesia. 

Ia bernama Sutan Harun Al Rasyid Zain, sosok yang bukan hanya cerdas, tapi juga teguh memegang nilai-nilai kejujuran dan pengabdian — warisan khas dari darah Minangkabau yang mengalir dalam dirinya.

Anak keenam dari tujuh bersaudara ini tumbuh dalam keluarga yang sarat aroma intelektual. Ayahnya, Prof. Sutan Muhammad Zain, dikenal sebagai pakar bahasa Indonesia dan guru besar yang keras mendidik tapi lembut dalam teladan.

Ibunya, Siti Murin, adalah perempuan tangguh yang menanamkan nilai kesederhanaan dan keteguhan hati. Dari dua sosok inilah, karakter Harun ditempa: berilmu tanpa jumawa, berpikir logis tapi berhati lembut.

“Ayah saya tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga cara hidup dengan benar,” pernah dikatakan Harun dalam sebuah wawancara.

Dari Bandung ke Batavia: Jejak Anak Guru Perantau


Masa kecil Harun diwarnai perpindahan dari satu kota ke kota lain. Ia pernah menjejak di Bandung, Batavia (Jakarta), Yogyakarta, hingga Surabaya, mengikuti ayahnya yang ditugaskan mengajar. Dari perjalanan panjang itu, ia belajar tentang keberagaman — mengenal berbagai budaya, dialek, dan cara berpikir masyarakat di tanah Jawa.

Namun di mana pun kakinya berpijak, Harun tak pernah lupa asal-usulnya. Dalam dirinya tetap mengalir nilai Minang: cinta pada ilmu, kerja keras, serta tanggung jawab moral pada masyarakat. 

“Saya ini anak Pariaman,” katanya suatu kali, “yang diajarkan untuk tidak takut merantau, tapi selalu ingat pulang.”

Semangat Revolusi: Dari Pelajar Jadi Pejuang


Ketika Indonesia bergolak menuju kemerdekaan, Harun muda memilih turun ke jalan. Di Surabaya, ia bergabung dengan barisan pelajar dan pemuda dalam perjuangan bersenjata melawan pasukan Sekutu. 

Di tengah dentuman meriam dan semangat perjuangan, idealisme Harun mengeras — bahwa kemerdekaan bukan sekadar hasil pertempuran, tapi juga hasil kecerdasan dan ketekunan membangun bangsa.

Selepas perang, ia kembali menapaki dunia akademik. Harun melanjutkan pendidikan ke Universitas Indonesia, lalu ke Amerika Serikat, memperdalam bidang ekonomi dan administrasi publik. Ia kemudian mengabdi di dunia pendidikan sebagai dosen dan rektor, sebelum akhirnya dipercaya menjadi pejabat tinggi negara — termasuk sebagai Menteri Tenaga Kerja di era Presiden Soeharto.

Ilmu sebagai Jalan Pengabdian


Harun Zain bukan sekadar ilmuwan, melainkan pemimpin yang menganggap ilmu sebagai bentuk tertinggi dari ibadah. Dalam setiap langkah kariernya — dari ruang kuliah hingga kabinet — ia membawa keyakinan bahwa bangsa hanya bisa maju bila pendidikan dan moral tumbuh beriringan.

Sebagai Gubernur Sumatera Barat (1967–1977), Harun dikenal tegas tapi berpandangan jauh ke depan. Ia menggagas pembangunan berbasis potensi daerah dan pendidikan. 

Di bawah kepemimpinannya, Sumatera Barat mulai membuka diri pada industrialisasi ringan tanpa meninggalkan nilai adat. Ia sering berkata, “Pembangunan tidak boleh membuat kita kehilangan jati diri.”

Warisan Seorang Cendekia Minang


Kini, nama Harun Zain dikenang bukan hanya sebagai pejabat atau akademisi, melainkan sebagai figur yang menjembatani dunia ilmu dan dunia nyata. Ia adalah contoh nyata pepatah Minang: Alam takambang jadi guru — alam yang terbentang adalah sumber ilmu.

Warisan pemikiran dan keteladanan Harun masih terasa hingga kini, terutama di kampus-kampus di Sumatera Barat dan Jakarta. Ia membuktikan bahwa seorang anak guru dari Pariaman bisa menjelma menjadi tokoh nasional, tanpa kehilangan akar budayanya.

Dan di balik semua capaian itu, tersisa pesan sederhana yang pernah ia ucapkan:
“Berilmu itu penting. Tapi lebih penting lagi adalah bagaimana ilmu itu digunakan untuk membuat hidup orang lain menjadi lebih baik.”
(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update