Notification

×

Iklan

Iklan

Jejak Lima Puluh Rombongan: Kisah di Balik Nama “Lima Puluh Kota”

17 Oktober 2025 | 22:14 WIB Last Updated 2025-10-17T15:14:09Z


Pasbana - Bayangkan sebuah rombongan kecil meninggalkan kampung halamannya berabad-abad lalu. Mereka berjalan kaki, menembus hutan lebat, menyeberangi sungai, dan mendaki lembah demi mencari tanah baru yang subur untuk ditinggali. 

Dari perjalanan panjang dan penuh liku itulah, lahir sebuah daerah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Lima Puluh Kota, di Sumatera Barat.

Awal Perjalanan dari Pariangan


Konon, kisah ini bermula dari Pariangan Padang Panjang, yang oleh banyak sejarawan disebut sebagai nagari tertua di Minangkabau

Dari sinilah lima puluh rombongan kecil meninggalkan kampung, berangkat dengan harapan menemukan wilayah baru di kaki Gunung Sago yang subur dan menjanjikan.

Menurut catatan lisan masyarakat yang diwariskan turun-temurun, rombongan itu bergerak melalui jalur yang kini dikenal sebagai kawasan Tabek Patah, Tanjuang Alam, Tungka, Bukik Junjuang Siriah, hingga ke Bawah Burai dan Padang Kubuang

Setiap langkah mereka meninggalkan jejak toponimi—nama-nama tempat yang masih bisa kita temui di peta hari ini.

Malam di Padang Siantah


Menjelang senja, rombongan tiba di padang luas yang dipenuhi rerumputan ribu-ribu. Mereka memutuskan bermalam di sana. Lokasi itu kini dipercaya berada di sekitar perbatasan Piladang dan Situjuah, tidak jauh dari pasar ternak yang terkenal di kawasan tersebut.

Namun, keesokan paginya, sesuatu yang aneh terjadi. Ketika mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan, ternyata lima rombongan telah menghilang tanpa jejak.

Saat ditanya ke mana perginya yang hilang itu, jawabannya hanya satu:
Antahlah!”

Sejak itu, tempat tersebut pun dikenal dengan nama Padang Siantah, yang berasal dari kata antah—artinya “entahlah” dalam bahasa Minang.

Lahirnya Lima Puluh Kota


Belakangan, terungkap bahwa lima rombongan yang “antahlah” itu ternyata memilih jalur lain dan menetap di kawasan yang kini menjadi bagian dari Bangkinang, Kuok, Air Tiris, Salo, dan Rumbio, di wilayah Provinsi Riau.

Sementara 45 rombongan yang tersisa melanjutkan perjalanan ke arah barat dan tiba di sekitar Batang Agam, sebuah daerah dengan aliran sungai jernih yang membelah lembah hijau. 

Mereka berhenti di kawasan yang dikenal sebagai Titian Aka dan Kumbuah Nan Bapayau, lalu disambut oleh tiga niniak nan batigo—Rajo Panawa, Barabin Nasi, dan Jhino Katik—tokoh-tokoh yang lebih dahulu bermukim di Payakumbuh.

Dari sinilah nama “Lima Puluh Kota” lahir—sebuah simbol persaudaraan, persatuan, dan perjalanan panjang dari lima puluh rombongan pendiri nagari-nagari yang kini tersebar di kawasan Luak Lima Puluh Kota.

Jejak Sejarah yang Masih Hidup


Hingga kini, cerita ini tak sekadar legenda. Ia hidup dalam keseharian masyarakat, dalam adat, bahasa, hingga struktur sosial di berbagai nagari di Lima Puluh Kota.

Menurut Dinas Kebudayaan Sumatera Barat, kisah ini menjadi bagian penting dari narasi identitas budaya Minangkabau. Bahkan, banyak peneliti seperti Prof. Mestika Zed dan Gusti Asnan menilai bahwa perpindahan penduduk dari Pariangan ke Luak Lima Puluh Kota mencerminkan dinamika ekspansi sosial dan ekonomi Minangkabau kuno—perpaduan antara semangat merantau dan kemampuan beradaptasi terhadap alam.

Kini, daerah Lima Puluh Kota bukan hanya dikenal dengan keindahan alamnya seperti Lembah Harau, Gunung Sago, dan Batang Agam, tetapi juga dengan nilai-nilai sejarah yang mengakar kuat: persaudaraan, gotong royong, dan semangat petualangan.

Menjaga Warisan Leluhur


Cerita tentang lima puluh rombongan itu mungkin terdengar seperti dongeng, tapi di baliknya tersimpan pelajaran berharga tentang asal-usul, kebersamaan, dan tekad untuk membangun peradaban baru.

Ketika kita melintasi jalan-jalan di Payakumbuh atau menikmati senja di Lembah Harau, bayangkanlah rombongan kecil yang dulu berjalan dari Pariangan—meninggalkan sejarah yang kini menjadi nama besar: Lima Puluh Kota.
Makin tahu Indonesia.
(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update