Padang Panjang, pasbana - Pagi itu, matahari baru saja menampakkan sinarnya di langit Bancalaweh, Padang Panjang. Udara masih lembap sisa embun malam, tapi aroma khas tanah dan kuda memenuhi udara.
Di lintasan pacuan, suara “hiya… hiya!” dari para joki berpadu dengan derap kuda yang berlari kencang, menciptakan irama khas yang hanya bisa ditemukan di satu tempat: arena pacuan kuda.
Bukan sembarang pagi.
Bukan sembarang pagi.
Hari itu, suasana di kawasan Bancalaweh terasa lebih hidup. Para joki muda—dengan tubuh mungil tapi nyali baja—mulai menunggang kuda mereka, berlatih jelang Kejuaraan Gubernur Cup III Alek Nagari Pacu Kuda Pabasko 2025. Ini bukan hanya ajang olahraga, tapi juga bagian dari napas budaya Minangkabau yang terus terjaga.
Ketika sebagian orang menghabiskan pagi mereka dengan jogging santai, warga sekitar Bancalaweh justru disuguhi tontonan yang lebih seru. Dari pinggir lintasan, para orang tua menatap penuh nostalgia.
“Sebelum lomba saja sudah ramai penonton. Semoga saat lomba nanti makin meriah dan ekonomi warga ikut bergerak,” ujar Delius Putra, Ketua Pelaksana Gubernur Cup III, saat ditemui di sela latihan (Senin, 20/10/2025).
Menurut Delius, para joki dan kudanya sudah datang sejak sehari sebelumnya. “Kita lakukan uji coba supaya kuda terbiasa dengan kondisi lintasan. Jadi saat lomba nanti, mereka tidak canggung,” jelasnya.
Latihan ini bukan sekadar memanaskan otot kuda.
Dalam tradisi pacu kuda Minangkabau—yang disebut juga “Alek Nagari”—setiap gerak kuda dan teriakan joki mengandung makna kebersamaan dan semangat juang. Di balik dentuman kaki kuda, tersimpan kisah kebanggaan masyarakat nagari yang turun-temurun mempertahankan warisan leluhur.
Pacu kuda bukan hal baru di Sumatera Barat. Tradisi ini sudah mengakar sejak abad ke-19, ketika para penghulu nagari menjadikannya ajang silaturahmi antarwilayah.
Kini, lewat event seperti Gubernur Cup, semangat itu bertransformasi menjadi kebanggaan daerah dan daya tarik wisata budaya.
Berdasarkan data dari Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI) Sumatera Barat, setiap tahun ada lebih dari 10 event pacu kuda tradisional yang digelar di berbagai daerah—dari Payakumbuh, Bukittinggi, hingga Sawahlunto.
Kejuaraan Gubernur Cup sendiri menjadi salah satu yang paling bergengsi karena mempertemukan joki-joki terbaik dari berbagai kabupaten/kota.
Selain memelihara tradisi, event ini juga punya dampak ekonomi nyata. Dinas Pariwisata Sumatera Barat mencatat, gelaran pacu kuda dapat meningkatkan perputaran ekonomi lokal hingga 20–30 persen dalam sepekan, terutama bagi pelaku UMKM, pedagang kuliner, dan penyedia jasa lokal.
Tak heran, Delius Putra turut mengajak para pelaku usaha kecil untuk ikut ambil bagian. “Silakan daftar ke Sekretariat PORDASI atau Kantor Satpol PP. Gratis, tidak ada syarat apa pun,” ujarnya.
Di tengah modernisasi, pacu kuda tetap menjadi magnet sosial. Ia bukan sekadar perlombaan adu cepat, tapi juga cerminan nilai-nilai gotong royong, sportivitas, dan cinta tradisi. Di arena itu, batas antara penonton, joki, dan pemilik kuda seakan mengabur—semuanya larut dalam semangat Alek Nagari.
“Setiap kali dengar derap kuda, rasanya seperti ikut berlari bersama,” tutur Sutan, warga Bancalaweh yang sejak kecil tak pernah absen menonton pacuan.
Sore nanti, mungkin lintasan akan kembali sepi. Tapi suara cambuk yang menghentak dan derap kaki kuda pagi itu masih bergema—sebagai tanda bahwa semangat Nagari Bancalaweh tak pernah benar-benar padam.
(*)