Pasbana - Padang Panjang mungkin kecil di peta, tapi kalau bicara ekonomi, kota ini mulai menunjukkan “nyali besar”. Lima tahun terakhir (2020–2024) jadi babak seru dalam kisah perputaran uang di kota berjuluk Serambi Mekkah ini.
Data PDRB menunjukkan, roda ekonomi Padang Panjang terus berputar meski sempat tersandung pandemi. Dan yang menarik, kota mungil ini mulai paham satu hal penting: tak selamanya bisa hidup dari uang kiriman pusat.
Pandemi pernah menjungkalkan ekonomi ke minus -1,44 persen. Tapi perlahan, kota ini bangkit, menjejak stabil di kisaran 4 persen pertumbuhan. Angkanya mungkin tak membuat heboh, tapi maknanya besar.
Karena pemulihan kali ini bukan cuma dari belanja konsumtif warga, tapi mulai disokong oleh investasi dan aktivitas antarwilayah—tanda bahwa Padang Panjang tak lagi sekadar “pasar”, tapi juga mulai “memasok”.
Konsumsi rumah tangga memang masih jadi tulang punggung (lebih dari separuh PDRB), tapi porsinya menurun pelan—bukan karena daya beli lesu, melainkan karena struktur ekonomi mulai dewasa.
Orang Padang Panjang kini tak sekadar membeli, tapi juga mulai membangun dan menjual.
Yang tak kalah menarik, investasi lokal tumbuh mantap di kisaran 30 persen. Pelaku usaha kecil mulai menanam mesin, membangun toko, membuka produksi.
Di saat yang sama, ekspor antarwilayah mulai mencatat angka positif—sebuah lompatan kecil tapi berarti: Padang Panjang mulai punya barang dan jasa yang dicari kota lain.
Namun ada awan tipis di langit cerah ini: ketergantungan pada dana pusat. Belanja pemerintah, yang dulu jadi “penjaga ritme”, kini justru menyusut dan makin administratif. Jika pusat mulai mengetatkan transfer pada 2025, maka kota ini harus siap berdiri di atas kaki sendiri.
Resepnya jelas: ubah pola belanja dari seremonial ke produktif; perkuat UMKM, dorong wirausaha muda, dan jadikan masyarakat pelaku, bukan penonton ekonomi.
Karena sejatinya, Padang Panjang bukan sekadar kota kecil di lereng bukit. Ia adalah laboratorium mini tentang bagaimana daerah bisa tumbuh tanpa harus menunggu “uang turun”. Jika semua bergerak, maka dari kota kecil ini bisa lahir pelajaran besar: bahwa kemandirian fiskal tak harus menunggu kota besar.
(*)