Pasbana - Bayangkan seekor sapi berotot besar seperti atlet binaraga, tapi tetap jinak, adaptif di iklim tropis, dan tumbuh super cepat. Itulah Sapi Gama, bintang baru dari dunia peternakan Indonesia yang lahir dari tangan dingin para peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) setelah perjalanan panjang selama 13 tahun penelitian tanpa henti.
Lahir dari Persilangan Dua Raksasa Dunia
Sapi Gama merupakan hasil persilangan Belgian Blue—sapi asal Belgia yang terkenal dengan otot gandanya—dengan Brahman Cross, sapi tangguh asal Australia yang terbukti tahan terhadap cuaca panas dan penyakit tropis.
“Tujuan kami sederhana tapi ambisius: menciptakan sapi pedaging lokal yang unggul, kuat, dan ekonomis,” ujar salah satu peneliti Fakultas Peternakan UGM, seperti dikutip dari laman resmi kampus tersebut.
Bobotnya Fantastis, Pertumbuhannya Kilat
Tak main-main, bobot lahir Sapi Gama rata-rata mencapai 36 kilogram, dan bisa tumbuh hingga 700–800 kilogram hanya dalam 30 bulan. Dengan tingkat karkas (bagian daging yang bisa dikonsumsi) mencapai lebih dari 65%, hasilnya jauh di atas rata-rata sapi lokal.
Artinya, dari setiap ekor Sapi Gama, peternak bisa mendapatkan daging premium dalam jumlah lebih banyak.
“Pertumbuhan cepat dan efisiensi pakan membuatnya sangat potensial untuk industri daging nasional,” ungkap Dr. Ir. Panjono, S.Pt., M.P., IPM., ASEAN Eng, Ketua Tim Peneliti Sapi Gama UGM.
Adaptif dan Aman untuk Peternak
Sapi Gama bukan hanya kuat dan besar, tapi juga mudah dipelihara. Berbeda dengan Belgian Blue murni yang sering mengalami kesulitan saat melahirkan, hasil persilangan dengan Brahman Cross membuat Sapi Gama minim masalah reproduksi dan lebih tahan terhadap penyakit tropis.
“Ini membuatnya cocok dikembangkan di berbagai wilayah Indonesia,” jelas Panjono.
Kementerian Pertanian RI pun akhirnya menetapkan Sapi Gama sebagai rumpun sapi pedaging baru Indonesia melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 285/Kpts/PK.040/M/07/2024.
Dengan status resmi ini, Sapi Gama kini menjadi salah satu kebanggaan nasional di bidang peternakan.
Dukung Kedaulatan Pangan Nasional
Langkah UGM ini bukan sekadar inovasi kampus, melainkan bagian dari upaya besar menuju kemandirian pangan nasional. Indonesia masih mengimpor lebih dari 250 ribu ton daging sapi per tahun (data BPS 2023), dan pengembangan sapi unggul lokal seperti Gama bisa menjadi solusi strategis untuk mengurangi ketergantungan impor.
Selain itu, Sapi Gama membuka peluang bagi peternak lokal untuk naik kelas. Dengan pertumbuhan cepat dan efisiensi pakan yang tinggi, biaya produksi bisa ditekan, sementara keuntungan meningkat.
Tak heran, beberapa perusahaan peternakan besar mulai melirik Gama sebagai calon primadona baru di kandang mereka.
Harapan dari Kampus Biru
UGM berkomitmen untuk terus melakukan pengembangan Sapi Gama agar bisa diperbanyak dan disebarkan ke berbagai daerah.
“Ini bukan akhir, tapi awal perjalanan baru,” kata Rektor UGM, Prof. Ova Emilia, dalam rilis resminya. “Kami ingin hasil riset ini benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan mendukung ketahanan pangan nasional.”
📌 Fakta Menarik:
Nama “Gama” berasal dari singkatan Gagah dan Macho, sekaligus mencerminkan identitas kampus penciptanya, Gadjah Mada.
Kandungan daging sapi Gama cenderung lebih rendah lemak namun tinggi protein, mirip dengan daging sapi premium impor.
Penelitian berlangsung sejak 2011, melibatkan tim multidisiplin dari bidang peternakan, genetika, hingga teknologi pakan.
Sapi Lokal, Kelas Dunia
Dengan segala potensinya, Sapi Gama bukan sekadar simbol inovasi akademik, tetapi juga bukti bahwa riset jangka panjang bisa melahirkan perubahan nyata.
Kini, Indonesia punya sapi lokal yang gagah, efisien, dan siap bersaing di pasar global.
Jika selama ini kita bangga dengan wagyu Jepang atau angus Australia, maka kini saatnya dunia mengenal Sapi Gama — sapi lokal yang gagah, macho, dan 100% karya anak bangsa.(*)
Jika selama ini kita bangga dengan wagyu Jepang atau angus Australia, maka kini saatnya dunia mengenal Sapi Gama — sapi lokal yang gagah, macho, dan 100% karya anak bangsa.(*)