Jakarta, pasbana — Di sebuah aula hotel di bilangan Tanah Abang, udara pagi terasa sejuk dan agak haru. Di sana, para penggerak zakat se-Indonesia duduk berjajar, sebagian berpeci, sebagian berjas, semuanya dengan satu niat: menata ulang arah zakat di negeri yang katanya “kaya tapi tak semua sejahtera.”
Forum itu bernama Muntada Sanawi ke-V, ajang tahunan yang mempertemukan para pengelola Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS), ulama, regulator, dan tokoh-tokoh zakat lintas generasi.
Dari 91 lembaga yang terdaftar, 54 hadir langsung. Tema tahun ini cukup tegas—“Konsolidasi Pendayagunaan Zakat untuk Meneguhkan Peran Zakat sebagai Pilar Ekonomi Umat.”
Di atas podium, Prof. Dr. Asrorun Niam Sholeh, MA, membuka forum dengan nada lembut tapi mengandung daya dorong kuat.
“MUI hadir bukan sekadar lembaga fatwa, tapi juga sahabat persaudaraan,” katanya.
Kalimat yang sederhana, tapi dalam: sebab di tengah dunia filantropi yang kadang terasa seperti pasar persaingan, kata “persaudaraan” bisa jadi lebih langka daripada donatur.
Dari Fatwa ke Welfare State
Salah satu momen penting Muntada kali ini adalah peluncuran Fatwa Zakat terbaru dari Komisi Fatwa MUI. Fatwa ini diharapkan menjadi kompas moral bagi para pengelola zakat agar tak hanya mengumpulkan dana, tapi juga membangun sistem kesejahteraan sosial yang berkeadilan.Prof. Niam pun tak segan mengaitkan zakat dengan gagasan besar welfare state.
“Zakat adalah bentuk takaful ijtima’i, iuran sosial bersama. Semangatnya sama seperti BPJS, tapi dengan ruh keikhlasan,” ujarnya.
Analogi itu disambut tawa ringan para peserta—mungkin karena BPJS kerap lebih dikenal lewat antrean dan potongan gaji, bukan semangat gotong royong.
Namun, Prof. Niam melanjutkan dengan nada lebih serius. Negara, katanya, tak mungkin menjangkau semua. Ada jutaan warga—guru mengaji, sopir angkot, pedagang asongan—yang belum tersentuh jaminan sosial.
“Di sinilah zakat punya peran strategis. Ia hadir bukan hanya di masjid, tapi di dapur dan dompet rakyat kecil.”
Zakat dan Bahaya “Kanibalisme” Antar Lembaga
Satu isu menarik mencuat dari forum ini: semakin banyak lembaga zakat berdiri, tapi sumber zakat tetap terbatas.
Prof. Niam menyebut fenomena ini sebagai potensi “kanibalisme antar lembaga”—lucu kalau tidak ironis.
“Zakat itu ibadah mahdhah, tapi pengelolaannya sangat dinamis. Kalau tidak ada kesepakatan kolektif, maka yang muncul bukan sinergi, tapi gesekan,” ujarnya.
Bahasa akademiknya halus, tapi maknanya tajam: jangan sampai lembaga zakat saling rebut donatur seperti perusahaan berebut pasar.
Fatwa, Manual Book, dan Akreditasi Ulama
Giliran Dr. KH. Marsudi Syuhud, MA yang berbicara, membawa suasana forum sedikit lebih santai. “Setiap ciptaan Tuhan punya manual book,” katanya, “dan manual book manusia adalah Al-Qur’an.”
Analogi ini ringan tapi menggelitik. Bedanya, manual book manusia sering tidak dibaca, apalagi diikuti.
Karena itulah, lanjut Marsudi, MUI hadir sebagai penerjemah manual book itu agar perbedaan tafsir tak berubah jadi perpecahan. Hingga kini, MUI sudah melahirkan lebih dari 600 fatwa dan membina hampir 200 lembaga amil zakat di Indonesia.
Dalam sesi lain, muncul perdebatan soal syarat Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang wajib berasal dari fakultas syariah. Sebagian menilai aturan itu terlalu kaku. Tapi Prof. Niam menjawabnya dengan canda tajam: “Kalau seseorang sering ikut seminar kedokteran, apakah ia boleh buka praktik medis?”
Hadirin pun tertawa, sebagian mengangguk. Analogi yang pas—dan menohok.
327 Triliun yang Belum Tersentuh
Dari ruang yang sama, Prof. Dr. KH. Noor Achmad, MA mengingatkan kembali bahwa potensi zakat Indonesia sebenarnya luar biasa—sekitar Rp327 triliun per tahun. Namun realisasinya masih di kisaran 10 persennya.
“Zakat perkebunan, peternakan, bahkan dana dormant, belum tergarap maksimal,” ujarnya.
Padahal, dengan potensi sebesar itu, zakat bisa menjadi lokomotif keadilan ekonomi umat. Tapi tanpa koordinasi dan kepercayaan publik, lokomotif itu hanya akan berputar di tempat.
Kolaborasi Sosial, Bukan Kompetisi Amal
Perspektif menarik datang dari Eko Novrianto, Direktur BPJS Ketenagakerjaan. Ia menyebut ada 144 juta tenaga kerja di Indonesia, namun 44 juta di antaranya belum terlindungi.
“Sebagian besar pekerja sektor informal. Kalau BPJS dan lembaga zakat bisa berkolaborasi, maka kesejahteraan tak lagi sekadar wacana,” ujarnya.
Sinergi seperti inilah yang diharapkan Muntada Sanawi V. Termasuk dari lembaga-lembaga zakat seperti Yayasan Relief Islami Indonesia (YRII), yang mengirim dua utusannya untuk memperkuat tata kelola zakat berbasis syariah dan kolaboratif.
Zakat Sebagai Jembatan Sosial
Menjelang penutupan, forum ini terasa lebih dari sekadar pertemuan formal. Ada semangat yang sama di udara: bahwa zakat bukan hanya ritual tahunan, melainkan gerakan sosial untuk menegakkan keadilan dan solidaritas nasional.
Di luar aula, langit Jakarta mulai redup. Tapi dari dalam, terasa cahaya kecil optimisme: bahwa selama zakat dikelola dengan akal dan hati, kesejahteraan umat bukan sekadar cita-cita. Ia bisa menjadi kenyataan—asal lembaga zakat berhenti berkompetisi, dan mulai berkolaborasi.
Zakat bukan hanya urusan transfer saldo ke rekening amil. Ia adalah cermin kepekaan sosial—sejauh mana kita mampu memanusiakan sesama.
Dan bila forum seperti Muntada Sanawi terus menjadi ruang dialog yang sehat, mungkin ke depan kita tak lagi bicara soal potensi zakat 327 triliun, tapi tentang hasil nyatanya: Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
(*)
(*)