Pasbana - Pernahkah Anda berpikir bahwa penjajahan itu kini tak lagi datang dengan bedil dan kapal perang, melainkan lewat saus tomat impor dan tepung instan dalam kemasan manis?
Ya, selamat datang di era gastrokolonialisme — bentuk penjajahan paling halus, paling menggoda, dan paling enak rasanya.
Istilah ini memang terdengar rumit, tapi maknanya sederhana: penjajahan lewat pangan. Bukan sekadar soal lidah dan selera, tapi soal siapa yang menguasai bahan makanan kita.
Ketika nasi kita pelan-pelan tergantikan oleh roti tawar impor, ketika rempah lokal dilupakan karena “tidak kekinian”, dan ketika anak-anak lebih hafal nama minuman soda dibanding nama sayur di kebun, di situlah gastrokolonialisme bekerja dalam diam.
Ini bukan isapan jempol. Banyak daerah di Indonesia kini kehilangan jejak kuliner aslinya. Lihat saja di kota-kota besar: makanan cepat saji dengan rasa “global” kian menggusur cita rasa “lokal”.
Padahal, dulu nasi tiwul, jagung tumbuk, atau sagu bukan sekadar makanan rakyat kecil — tapi simbol kemandirian dan identitas. Kini, semua terganti oleh satu kalimat ajaib: “imported quality.”
Gastrokolonialisme adalah bentuk baru dari neokolonialisme, penjajahan gaya modern yang menguasai lewat selera dan pasar. Ia tidak datang lewat perjanjian politik, tapi lewat iklan dan algoritma media sosial. Ia tidak menembak, tapi meninabobokan kita dengan rasa gurih buatan dan kemasan yang memanjakan mata.
Bahayanya? Besar. Kita kehilangan kedaulatan pangan, dan lebih jauh lagi—kehilangan jati diri. Karena, sebagaimana kata pepatah lama: “Kau adalah apa yang kau makan.”
Maka jika yang kita makan adalah produk impor tanpa ruh budaya, jangan heran bila identitas kita pun ikut luntur perlahan.
Namun, tak semua suram. Gelombang kesadaran baru mulai tumbuh. Komunitas kuliner lokal, petani muda, hingga chef milenial kini mulai bergerak melawan penjajahan rasa ini. Mereka kembali menanam, menumbuhkan, dan mengenalkan bahan pangan lokal dengan cara yang lebih segar dan modern.
Gastrokolonialisme memang licik, tapi bukan berarti tak bisa dilawan. Cukup mulai dari meja makan sendiri: masak lokal, makan lokal, bangga lokal. Karena mempertahankan pangan kita, sesungguhnya adalah mempertahankan Indonesia itu sendiri.
Dan siapa sangka, mungkin revolusi berikutnya bukan dimulai di jalanan—tapi di dapur Anda. (*)




