Pasbana - Ada kalanya, peta besar ekonomi tidak digambar dari gedung tinggi atau ruang rapat berpendingin udara. Kadang, ia bermula dari aroma tumisan bawang di dapur nagari—seperti yang kini diimpikan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
Sekretaris Daerah Sumbar, Arry Yuswandi, tak bicara soal teori makroekonomi berlapis-lapis. Dalam obrolan santai di Podcast Ciloteh Wan Ipin, Jumat (31/10), ia mengajak semua pihak untuk “turun dapur”—secara harfiah dan metaforis.
Targetnya pun bukan main-main: pertumbuhan ekonomi 7 persen di tahun 2030.
“Sekarang kita baru 3,94 persen. Jadi kita harus ngebut, tapi tetap di jalan yang benar,” ujarnya, setengah serius, setengah menantang.
“Sekarang kita baru 3,94 persen. Jadi kita harus ngebut, tapi tetap di jalan yang benar,” ujarnya, setengah serius, setengah menantang.
Dari Dapur ke Data: Makan Bergizi, Ekonomi Pun Berdiri
Salah satu jurus yang tengah dikedepankan Pemprov Sumbar adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Jangan salah, ini bukan sekadar program makan siang anak sekolah. Di balik nasi, sayur, dan lauk pauk itu, ada roda ekonomi yang berputar cepat.
Bayangkan, satu dapur MBG menyerap 50 tenaga kerja. Dari 650 dapur yang ditargetkan, baru 125 yang beroperasi.
Artinya, jika semuanya jalan, ribuan perut kenyang dan ribuan kantong ikut terisi. Petani sayur laku dagangan, pedagang pasar kebanjiran pesanan, hingga UMKM kuliner dapat durian runtuh.
“Kalau dapurnya tambah banyak, efek ekonominya bukan lagi lokal—tapi nagari jadi pusat energi ekonomi baru,” kata Arry dengan nada optimistis.
Pemerintah pusat bahkan ikut memantau, meminta agar dapur MBG diperluas ke wilayah 3T seperti Kepulauan Mentawai, menambah 71 titik baru.
Energi dari Bumi dan Jiwa Wirausaha dari Nagari
Namun, dapur bukan satu-satunya sumber panas ekonomi Sumbar. Pemerintah juga membuka keran investasi di energi terbarukan, terutama geothermal—energi yang harfiah diambil dari perut bumi Minang.
Tapi yang lebih penting, menurut Arry, bukan sekadar energi panas bumi, melainkan energi semangat muda.
“Kalau semua ingin jadi pegawai, kapan kita punya pengusaha baru? Dulu kita target 100 ribu entrepreneur, sekarang saatnya mereka diberi panggung,” ujarnya.
Nah, salah satu panggung itu adalah Nagari Kreatif Hub (NCH)—gagasan Wakil Gubernur Sumbar yang layak diacungi jempol. Di sini, anak muda dan pelaku UMKM bisa menikmati akses internet gratis, memasarkan produk ke pasar nasional hingga internasional.
Cita-citanya sederhana tapi berdampak besar: membangun ekonomi dari nagari, bukan dari menara.
Gerakan Kolaborasi: Antara Cabai dan Kalkulasi
Tentu, Sumbar juga harus waspada dengan “bumbu-bumbu” global yang memengaruhi rasa ekonominya. Fluktuasi harga cabai dan beras, misalnya, kerap jadi ujian kesabaran emak-emak sekaligus pemerintah daerah.
Di sinilah Gerakan Pangan Murah berperan: menjaga harga tetap “sedap di lidah” bagi rakyat tanpa membuat petani “kepedasan” karena rugi.
“Kalau harga terlalu tinggi, masyarakat menjerit. Tapi kalau terlalu rendah, petani yang menangis. Kita harus jaga keseimbangannya,” kata Arry, mengingatkan.
Menutup dengan Rasa Percaya Diri ala Minang
Apakah target 7 persen itu mungkin? Arry yakin, sangat mungkin—asal semua pihak mau turun tangan, turun pikiran, dan kalau perlu, turun ke dapur nagari.
Di tengah ketidakpastian global, justru nagari-nagari kecil bisa jadi penyelamat. Dari sana lahir pekerja, pengusaha, dan inovator baru.
Ekonomi Sumbar memang belum setinggi gunung Marapi, tapi jalannya sudah menanjak ke arah sana. Dan siapa tahu, dari satu piring makan bergizi di nagari, Sumatera Barat perlahan menyajikan menu pertumbuhan 7 persen—lezat, bergizi, dan penuh cita rasa gotong royong.
(*)
Catatan redaksi:
Kadang, resep pertumbuhan ekonomi tak serumit teori Keynes. Ia bisa dimulai dari hal sederhana: perut kenyang, hati senang, dan nagari yang bergerak bersama.
Kadang, resep pertumbuhan ekonomi tak serumit teori Keynes. Ia bisa dimulai dari hal sederhana: perut kenyang, hati senang, dan nagari yang bergerak bersama.




