Notification

×

Iklan

Iklan

Banjir Sumatra Mengungkap Dampak Nyata Kapitalisme Ekstraktif

10 Desember 2025 | 12:05 WIB Last Updated 2025-12-10T05:10:07Z
Foto: ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
 


Pasbana - Ketika 867 jenazah tenggelam karena banjir di Sumatra, mereka bukan hanya korban warga Indonesia. 

Ini adalah peringatan bagi Manila, Dhaka, Lagos, dan seluruh dunia Selatan, di mana kapitalisme ekstraktif telah mengubah ekosistem menjadi zona pengorbanan.

Data Kemanusiaan yang Tak Terbantahkan.


Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 5 Desember, setidaknya 867 orang dipastikan meninggal dunia, 521 orang masih hilang, dan lebih dari 835.000 orang mengungsi, jumlah penduduk yang hampir setara dengan Bhutan.

Kelumpuhan ekonomi ini total, infrastruktur hancur. Lebih dari 405 jembatan putus, 270 fasilitas kesehatan rusak, dan 509 sekolah terendam. Ini bukan statistik, ini pembantaian daya hidup oleh sistem yang menilai kayu, kelapa sawit dan batu bara lebih berharga daripada nyawa. 

Aceh menanggung beban terberat, 349 orang meninggal dunia dan 175 orang hilang. Sumatera Utara menyusul dengan 321 orang meninggal dunia dan 134 orang hilang. Sumatera Barat hancur lebur dengan 227 orang meninggal dunia dan 213 orang hilang. Lebih dari 2,2 juta orang di 3.310 desa di Aceh saja terdampak. Ketika air surut, ribuan keluarga mendapati rumah mereka terkubur lumpur dan masa depan mereka hancur.

Fakta-fakta ini adalah puncak nyata dari kegagalan selama puluhan tahun. Hutan yang dulunya menyerap curah hujan kini gundul. Sungai-sungai yang dulu mengalir tenang kini meluap bagai tsunami. Bencana ini lahir dari model ekonomi ekstraktif yang selama dua dekade telah menjual hutan sebagai komoditas.

Pemerintah menyalahkan "Siklon Tropis Senyar" sebagai penyebab utama bencana alam yang berada di luar kendali manusia. Namun, data dan sejarah membantah narasi nyaman itu. Penyebab sebenarnya adalah perusakan sistematis terhadap tutupan hutan, alih fungsi lahan, dan izin-izin korporasi yang diizinkan negara sementara rakyat dipaksa membayar harga atas pertumbuhan ekonomi dan ekspor komoditas.

Banjir besar Desember 2025 di Pulau Sumatra bukan sekadar tragedi hidrometeorologi. Ini adalah bencana ekologis terbesar di Asia Tenggara tahun 2025. Ini adalah “critical juncture” titik belah sejarah yang memaksa dunia menghadapi kegagalan tata kelola lingkungan, ketimpangan struktural, dan kontradiksi geopolitik Indonesia, erlepas dari citranya sebagai penjaga hutan tropis dunia.


Grafik Kehancuran yang Tak Pernah Diam.


Bencana banjir buatan manusia ini dipicu oleh deforestasi massal selama 2 dekade terakhir. Data grafik deforestasi di Sumatra, menunjukkan pola yang konsisten dan tak pernah diam. Setiap tahun ratusan ribu hektare hutan primer dikonversi menjadi konsesi kelapa sawit, pertambangan, dan pulp-kertas. 

Pada tahun 2012, Sumatra kehilangan lebih dari 413.200 hektar hutan dalam satu tahun. Kemudian pada tahun 2015, Sumatra kehilangan 335.100 hektar. Itu setara dengan kehilangan 4.700 lapangan sepak bola setiap hari selama setahun penuh. Sejak itu, rata-rata lebih dari 200.000 hektar hilang setiap tahunnya.

Saat ini, 1.907 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Minerba yang aktif beroperasi di seluruh Sumatra. Hutan seluas 2,45 juta hektar yang seharusnya berfungsi  sebagai spons raksasa penyerap air, kini menjadi lahan tandus milik perusahaan. Global Forest Watch mendokumentasikan bahwa Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah kehilangan 7.569 mil persegi hutan sejak tahun 2000, area yang lebih luas dari New Jersey.

Sebagaimana dicatat oleh para ahli lingkungan, tutupan hutan hujan bertindak seperti spons yang menyerap air, tetapi setelah deforestasi, tidak ada yang dapat memperlambat hujan deras saat memasuki aliran air. Jadi, ketika hujan deras datang akhir tahun 2025, air langsung meluncur deras membawa lumpur dan kayu tebangan, menghantam rumah-rumah rakyat miskin di hilir.

Perusahaan-perusahaan besar dan konglomerat agribisnis merupakan pelaku utama pemegang izin selama periode puncak deforestasi di Sumatra. Mereka harus bertanggung jawab atas konversi lahan yang memperburuk banjir. Ini bukan hanya akibat hujan melainkan akibat kapitalisme ekstraktif yang mengorbankan ekosistem demi keuntungan oligarki.


Arena Perebutan Pengaruh Global.


Ekspansi kelapa sawit telah menjadi pendorong utama deforestasi selama 20 tahun terakhir. Sumatra mengalami peningkatan 3,7 kali lipat dalam deforestasi yang didorong oleh industri kelapa sawit pada tahun 2022 dibandingkan dengan tahun 2020.

Sektor kelapa sawit di Indonesia mewakili 4,5% dari PDB dan mempekerjakan lebih dari 16,2 juta orang secara langsung dan tidak langsung. Negara ini merupakan eksportir minyak sawit terbesar di dunia, menyumbang 54% dari ekspor global. 

Cina baru-baru ini melampaui Uni Eropa dan India untuk menjadi importir minyak sawit terbesar Indonesia, meningkatkan pangsa pasarnya dari 11% pada tahun 2013 menjadi 14% pada tahun 2022. Cina dan India bersama-sama menyumbang 75% dari seluruh paparan deforestasi minyak sawit Indonesia. 

Konsumsi domestik Indonesia juga meningkat dari 32% produksi pada tahun 2018 menjadi 44% pada tahun 2022, dengan lebih dari separuhnya digunakan untuk biodiesel. Eropa menuntut Indonesia melindungi "paru-paru dunia" nya sementara bank-bank Eropa membiayai deforestasi yang justru menjadi penyebab bencana-bencana ini. Ini adalah kolonialisme iklim yang dibalut retorika hijau. 

Negara-negara utara menginginkan Indonesia melestarikan hutan untuk kredit karbon sambil terus mengimpor minyak sawit, kayu, dan mineral yang diekstraksi melalui perusakan hutan. Indonesia diperintahkan untuk mengorbankan pembangunan ekonomi demi tujuan iklim global, namun tidak diberikan dukungan untuk beralih dari industri kapitalisme ekstraktif.

Tanggapan internasional datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Kesehatan Dunia, Amnesty International, Iran, Pakistan, Uni Emirat Arab, dan banyak negara lain yang menawarkan bantuan. Namun penerimaan Pemerintah Indonesia melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi tidak lebih dari hangat.

Penolakan Indonesia untuk menyatakan keadaan darurat nasional hanya masuk akal jika dilihat melalui kacamata ekonomi politik. Pasti pernyataan keadaan darurat nasional akan memicu pengawasan internasional terhadap industri-industri yang mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dari perspektif saya sebagai seorang sosialis demokrat, bencana ini menyingkap kontradiksi mendasar dari model pembangunan Indonesia. Kita tidak dapat lagi  membangun kapitalisasi dengan melikuidasi fondasi ekologis kita. 

Kita tidak dapat menanam kembali hutan selama izin penebangan masih berlaku. Kita tidak dapat memulihkan daerah aliran sungai sementara konsesi pertambangan meluas ke hulu. Kita membutuhkan transformasi struktural, penegakan keadilan ekologis dan seruan aliansi solidaritas internasional.(*)

***
Bobby Ciputra
Ketua AMSI - Angkatan Muda Sosialis Indonesia

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update