Pasbana - Di masa lalu, hutan-hutan di Ranah Minang berdiri kokoh. Batangnya tegak, kayunya keras, akarnya mencengkeram tanah dengan kuat. Di antara pepohonan itu, tumbuh satu jenis pohon yang kelak memberi nama bagi seluruh pulau: pohon andalas.
Tak banyak yang tahu, nama Pulau Andalas—sebutan lama untuk Sumatra—berasal dari pohon ini. Bukan sekadar penanda geografis, andalas adalah simbol.
Ia menjadi saksi hubungan panjang antara manusia, alam, dan kebudayaan Minangkabau.
Hari ini, pohon itu nyaris menghilang. Bersamaan dengan itu, banjir bandang dan galodo kian sering datang. Sebuah kebetulan? Atau ada cerita yang terputus di antara akar-akar yang hilang?
Pohon yang Memberi Nama Pulau
Secara ilmiah, pohon andalas dikenal sebagai Morus macroura Miq. Ia masih satu keluarga dengan murbei, tetapi kualitas kayunya membuatnya dijuluki “jati Sumatra”. Kuat, awet, tahan rayap, dan sanggup bertahan puluhan bahkan ratusan tahun.
Catatan sejarah dan tradisi lisan masyarakat Minangkabau menyebutkan, pohon andalas dahulu tumbuh melimpah, terutama di kawasan Sumatra bagian tengah.
Dari sanalah muncul istilah “Tanah Andalas”, yang kemudian digunakan luas untuk menyebut Pulau Sumatra.
Nama itu bukan tanpa makna. Bagi orang Minang, andalas melambangkan keteguhan, daya tahan, dan kesinambungan hidup—nilai yang juga tercermin dalam adat dan falsafah alam takambang jadi guru.
Kayu yang Menyangga Rumah Gadang
Dalam arsitektur tradisional Minangkabau, pohon andalas punya posisi istimewa.
Kayunya digunakan sebagai tiang utama Rumah Gadang, rumah adat yang menjadi pusat kehidupan kaum dan suku.
Menurut sejumlah kajian etnobotani, kayu andalas dipilih bukan hanya karena kuat, tetapi juga karena daya tahannya terhadap kelembapan dan serangga, sangat cocok dengan iklim tropis basah Sumatra.
“Kalau dulu, rumah adat dibangun untuk ratusan tahun. Itu sebabnya andalas dipilih,” tulis sejumlah peneliti kehutanan Universitas Andalas dalam publikasi mereka.
Tak heran, ketika universitas negeri pertama di Sumatra didirikan, namanya pun diambil dari pohon ini: Universitas Andalas (UNAND)—sebuah simbol kebanggaan sekaligus pengingat akar sejarah.
Bukan Hanya Kayu: Potensi Ilmiah Andalas
Pohon andalas tidak berhenti pada nilai budaya. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa daun, kulit, dan akar andalas mengandung senyawa antioksidan, dengan potensi antimikroba, antiinflamasi, bahkan antikanker.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal farmasi dan biologi di Indonesia menyebutkan, ekstrak Morus macroura memiliki aktivitas biologis yang menjanjikan untuk pengembangan obat herbal dan farmasi modern.
Namun ironisnya, saat potensinya mulai dikenal dunia ilmiah, pohonnya justru makin langka di alam.
Langka di Tanah Sendiri
Secara geografis, pohon andalas memang memiliki sebaran alami luas—mulai dari Himalaya, China selatan, Indocina, hingga Indonesia. Namun di Sumatra Barat, tempat ia menjadi ikon budaya, populasinya terus menyusut drastis.
Alih fungsi hutan, pembalakan masa lalu, serta minimnya penanaman kembali membuat pohon ini sulit ditemukan di habitat aslinya. Ia kini lebih sering dijumpai di kebun koleksi, arboretum kampus, atau program konservasi terbatas.
Pemerintah daerah, akademisi, hingga mahasiswa pecinta alam telah melakukan upaya pembibitan dan penanaman kembali. Namun skala upaya itu masih belum sebanding dengan laju kerusakan lingkungan.
Ketika Andalas Hilang, Air Datang Tanpa Ampun
Beberapa tahun terakhir, banjir bandang dan galodo berulang kali melanda Sumatra Barat—dari Tanah Datar, Agam, hingga wilayah pesisir. Banyak ahli menyebutkan, penyebabnya bukan semata hujan ekstrem, tetapi hilangnya tutupan hutan di daerah hulu.
Pohon seperti andalas, dengan akar kuat dan tajuk lebar, berperan penting dalam menahan air, memperkuat struktur tanah, dan mencegah longsor. Ketika pohon-pohon besar ini hilang, tanah menjadi rapuh, sungai meluap lebih cepat, dan bencana pun datang tanpa banyak peringatan.
Dalam konteks ini, hilangnya pohon andalas bukan hanya kehilangan simbol budaya, tetapi juga hilangnya benteng ekologis alami.
Tanah Andalas, Identitas yang Perlu Dijaga
Istilah “Tanah Andalas” hari ini punya makna ganda. Ia adalah sebutan historis untuk Sumatra. Ia juga hidup dalam dunia akademik, salah satunya melalui riset tanah, lingkungan, dan kehutanan yang dikembangkan Universitas Andalas.
Namun makna terdalamnya tetap sama: identitas yang bertumpu pada hubungan manusia dengan alam.
Menjaga pohon andalas berarti menjaga sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, sekaligus keselamatan ekologis Sumatra Barat. Bukan nostalgia romantik, melainkan kebutuhan nyata di tengah krisis iklim dan bencana yang kian sering terjadi.
Akar yang Tak Boleh Putus
Pohon andalas mungkin tak lagi mudah ditemukan di hutan. Tetapi namanya masih hidup—di universitas, di buku sejarah, dan dalam ingatan kolektif orang Minang.
Pertanyaannya kini sederhana tapi mendesak: apakah kita akan membiarkan Andalas tinggal sebagai nama, atau mengembalikannya sebagai kehidupan?
Sebab ketika akar terakhir benar-benar putus, bukan hanya pohon yang tumbang. Kita semua yang kehilangan penopang.
Makin tahu Indonesia.
(*)
(*)







