Notification

×

Iklan

Iklan

Ayo Beternak Ayam Kampung...!

24 Desember 2016 | 17.24 WIB Last Updated 2016-12-24T10:29:06Z

Indonesia adalah salah satu pusat domestifikasi ayam dunia, di samping Tiongkok dan Lembah Sungai Indus, India. Sayangnya, sebagian besar plasma nutfah ayam asli Nusantara justru punah terempas oleh derasnya industri ayam ras. Sofjan Iskandar, seorang peneliti, bekerja keras mempertahankan sebagian yang tersisa itu.

Di negeri ini, sedikitnya ada 28 jenis ayam lokal, seperti ayam kedu, cemani, ayam sentul, dan strain ayam kampung biasa yang bertebaran mulai dari Sumatera, Pulau Jawa, hingga Papua. Namun, negeri ini lupa untuk mengembangkannya.

Kita malah lebih memilih untuk membeli ayam dari Amerika Serikat yang bisa tumbuh lebih cepat. Sikap seperti itu berkembang di antara pemangku kepentingan di Indonesia pada era 1970-an.
Beruntung, pada era 1980-an, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) meminta anggotanya untuk mempertahankan plasma nutfah ayam lokal. Seturut permintaan itu, para peneliti Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Badan Litbang Kementerian Pertanian, terdorong mengembangkan galur murni ayam lokal. Salah satu yang diteliti adalah ayam sentul asal Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Sofjan Iskandar salah seorang peneliti utama di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor, yang terjun dalam penelitian tersebut. ”Saya punya cita-cita ingin punya galur murni ayam sentul yang lebih baik daripada yang ada sekarang sehingga bisa membantu efisiensi,” ujar profesor riset itu di Bandung.

Sebenarnya, pada 2008 sudah ada proses seleksi terhadap ayam kampung unggul di Badan Litbang. Namun, kegiatan itu baru untuk ayam petelur. Jenis ayam ini diseleksi untuk produksi petelur lebih tinggi tanpa mengubah postur ayam. 

Dalam perkembangannya, permintaan daging ayam terus meningkat. Maka, untuk mendukung budidaya, perlu dipilih ayam jantan dengan galur yang baik. Saat itu sudah ada peneliti yang menggali plasma nutfah ayam sentul abu-abu dari Ciamis. Namun, penelitian itu tidak berlanjut lantaran sang peneliti melanjutkan pendidikan ke luar negeri.

Sofjan bersedia jadi ”kernet” untuk melanjutkan penelitian itu. Ia mengarahkan proses seleksi untuk mengembangkan ayam produksi yang sesuai permintaan pasar, yakni berbobot 1 kilogram untuk ayam umur 10 minggu. Saat itu, ayam sentul rata-rata bobotnya masih di bawah itu.

Komisi Penelitian Badan Litbang sepakat untuk menyeleksi secara ketat ayam jantan usia 10 minggu yang bobotnya paling tinggi. Ayam pilihan itu dikawinkan lagi dengan ayam yang bobotnya paling tinggi pula. Pada generasi keenam, dihasilkan ayam dengan berbagai warna. Dua warna yang dominan adalah abu-abu dan bercak putih.

Ayam berwarna abu-abu dikawinkan lagi dengan ayam abu-abu, ayam bercak putih dikawinkan dengan ayam bercak putih. Generasi enam ini sudah bisa dilepas dan pelepasan galur murni ini harus dengan SK menteri pertanian.

”Generasi ini kalau diturunkan lagi, 95 persen anaknya sudah seperti induknya,” tutur peneliti yang dikukuhkan sebagai profesor riset pada 2011 itu.

Sambil menunggu pelepasan, Sofjan meminta ayam hasil seleksi disebarkan agar bermanfaat bagi masyarakat. Lalu, dibukalah kerja sama dengan perusahaan-perusahaan pembibitan. ”Kalau disimpan di Balitnak saja, kan, sayang, ternaknya tidak menyebar ke masyarakat,” tutur Sofjan.

Pembibitan galur murni diproduksi untuk grand parent stock (GPS). Turunannya lalu dikawinkan lagi dengan turunan terpilih untuk dijadikan bibit yang bisa jadi parent stock (PS). Para breeder ini nantinya yang akan menghasilkan final stok (FS) atau DOC (day old chicken),yakni ayam budidaya untuk konsumsi. Balitnak sendiri tidak mengeluarkan FS, tetapi PS yang dibangun dari GPS.

”Selain ayam sentul seleksi, kami siapkan juga ayam kampung unggul Balitbang (KUB) 1 dan KUB 2. Ayam pejantan ini diambil dari jenis ayam gaok, yakni ayam lokal dari Madura,” katanya. Dari galur-galur murni ini akan diseleksi bagaimana formula darahnya sehingga menghasilkan ayam FS yang efisien dan lebih bagus dibandingkan dengan ayam kampung biasa. 

Hasil seleksi dan pemurnian yang selanjutnya dikenal dengan ayam Sensi (sentul seleksi) kemudian dikembangkan di Bogor dan Sukabumi setelah dilakukan perjanjian kerja sama (MOU) antara Balitnak dan Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) pada 19 April 2012.

Dari kerja sama itulah, berkembang usaha pembibitan ayam sentul dalam skala besar. Hasilnya menggembirakan karena diminati para peternak ayam lokal di seluruh Indonesia. Sarana pembibitannya pun cukup modern, seperti menggunakan mesin tetas digital asal Belanda dan jumlah indukan yang mencapai 20.000 ekor di satu lokasi.
”Produksi pembibitan ini bisa mencapai 80.000-120.000 DOC setiap bulan yang diserap oleh peternak dari 18 provinsi, seperti Kepulauan Riau, Jambi, Bangka Belitung, Banten, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Papua,” ujar Ade M Zulkarnain, Ketua Umum Himpuli, awal Juni lalu.

Sofjan sudah berinisiatif menyeleksi galur murni ayam lokal. Niat itu makin kuat setelah melihat perkembangan ayam ras yang begitu cepat sehingga menyisihkan ayam lokal. Inisiatif ini sekaligus untuk menjawab ketakutan bangsa ini dari kemungkinan perlakuan embargo terhadap ayam indukan dari negeri produsennya.

Kalau Indonesia tidak mengembangkan ayamnya sendiri, ayam- ayam lokal itu akan habis dikonsumsi. ”Kita suka ayam, makanya kita coba mengangkat pamor ayam lokal kita sendiri. Namun, prosesnya harus menjadi komplemen karena masyarakat sudah sadar akan asupan gizi. Mereka ingin ayam lokal yang sehat. Jadi, produk ayam lokal itu harus benar-benar sehat,” tuturnya.

Ayam broiler dianggap tidak sehat karena diseleksi terlalu kencang sehingga mudah terserang penyakit. Agar ayam-ayam bertahan hidup untuk budidaya, harus menggunakan obat-obatan dan antibiotik. Proses seleksi yang kencang ini juga menghasilkan lemak yang tinggi.

Lalu, masyarakat yang sadar gizi akan mencari daging yang sehat. Maka, jawabannya harus ada di ayam lokal.

Ayo beternak ayam kampung...!


Sumber: Kompas.com

×
Kaba Nan Baru Update