Notification

×

Iklan

Iklan

TBM dan Kerisauan Pengelolanya

05 Oktober 2020 | 23.15 WIB Last Updated 2020-10-05T16:16:30Z

Januar Efendi, S.Pd (*

Pasbana.com -- Gerakan literasi nasional sejatinya merupakan gerakan sosial yang didorong oleh program-program pemerintah dalam mengupayakan masyarakat yang sejahtera. Sejak dihembuskan gerakan ini oleh pemerintah melalui kemendikbud, banyak kota-kota di Indonesia yang memacu kotanya untuk menjadi bagian dari program pemerintahan ini. 


Salah satunya adalah kota Padangpanjang. Kota yang berjuluk kota serambi mekkah ini langsung bergerak cepat untuk menuntaskan program literasi nasional ini dengan segala bentuk kegiatan dan programnya. Program unggulan kota yang berhawa sejuk ini adalah memunculkan Taman Bacaan Masyarakat(TBM) di setiap kelurahan. 


Tercatat dalam laporan pendirian TBM oleh dinas pendidikan ada sekitar 32 TBM sejak dicanangkannya program literasi oleh pemerintahan kota. Awal mula pergerakan literasi ini benar-benar membuat decak kagum orang-orang yang berkunjung ke kota ini. 


Banyak iven-iven yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengayomi masyarakat untuk  peduli akan gerakan literasi ini. Salah satunya adalah ketika diadakan kegiatan temu Penyair Asia Tenggara dan Festival Literasi oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan kota bekerja sama dengan Forum Pegiat Literasi kota Padangpanjang. Puncaknya Padangpanjang memecahkan rekor MURI untuk penulis puisi terbanyak serta penetapan Padangpanjang sebagai kota Literasi. 


Namun belakangan, gerakan literasi tidak lagi menjadi brand kota pendidikan ini. Setiap program pemerintah tidak lagi melibatkan literasi sebagai bagian dari tujuan dari visi dan misi. Salah satu yang terdampak dengan hal ini adalah Taman Bacaan Masyarakat yang sebetulnya asal muasal pegiat literasi bermunculan di kota ini. TBM- TBM tidak lagi aktif dalam berkarya dan berinovasi. Hanya beberapa TBM yang masih bergeliat dan beraktivitas. 


Permasalahannya adalah tidak adanya program khusus yang menjadikan TBM sebagai skala prioritas. Dilihat dari kacamata pengelola, TBM tak lagi menjadi program unggulan bagi pemerintahan sekarang sehingga TBM merasa terpinggirkan. Buktinya setiap pembahasan anggaran baik itu musrembang kelurahan, kecamatan dan kota TBM hanya menjadi pemenuhan kouta usulan. 


Sedangkan di dinas pendidikan sendiri anggaran dibawah naungan Pendidikan Luar Sekolah hanya untuk PKBM-PKBM. Permasalahan seperti ini menjadikan TBM hanya bagian kecil dari program pemerintahan saat ini, padahal jika pemerintah mau dan serius mengelola TBM, TBM bisa menjadi ujung tombak setiap program pemerintahan. 


Pembangunan karakter dan pengembangan kreatifitas dapat dilakukan di TBM-TBM yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Bahkan dimasa pandemipun, ketika sekolah ditutup, pasar dibatasi, tempat bermain anak dilarang beroperasi tempat yang paling banyak dikunjungi adalah TBM-TBM ini. 


Menjadi tempat bermain dan berkumpulnya anak-anak yang notabenenya adalah para pelajar membuat TBM mendapatkan tempat dihati masyarakat sekitar. Bagaimana tidak, disaat sekolah menerapkan pembelajaran online, dan dengan kesibukan orang tua dalam mengais rezki yang itupun terbatas karena penerapan protokol covid menjadikan TBM tempat bersandar anak-anak belajar. Di TBM mereka bisa mengerjakan tugas yang diminta oleh guru-gurunya dan dibantu oleh pengelola-pengelola TBM tersebut. 


Berdasarkan pengalaman itu sudah seharusnya TBM menjadi salah satu Pilot preject pemerintah dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakatnya dalam hal ini adalah mereka, orang-orang yang bekerja sepenuh hatinya untuk TBM-TBM tersebut. 


Perlu adanya perenungan khusus oleh pemerintahan dalam mengupayakan kesejahteraan untuk para pengelola TBM tersebut. Betul, itu merupakan kerja sosial. 


Sosialpun mestinya juga diberikan untuk mereka kesejahteraan. Jangan hanya pemerintah berbangga memberikan anggaran untuk festival literasi yang sebetulnya itu adalah suatu cara pemerintah menutupi kegagalan dalam meliteratkan masyarakatnya. Festival literasi hanyalah bagian kecil dari keeuforiaan pemerintah dalam menghadirkan orang-orang hebat yang bergelut di dunia literasi, sementara pegiat-pegiat literasi dikota sendiri yang seharusnya mendapatkan kesejahteraan justru sebaliknya. Harusnya pemerintah jeli melihat kerja keras penggerak-penggerak literasi yang berada dikelurahan-kelurahan, di RT-RT. 


Mereka tidak pernah dianggarkan secara resmi oleh pemerintah tetapi sudah mampu berbuat untuk membantu pemerintah dalam mengatasi krisis moral para anak-anak. Semua ini tentu menjadi PR bagi pemerintahan sekarang dalam melihat dan memperhatikan secara lebih terhadap pegiat-pegiat literasi yang ada di TBM-TBM. 


Agar cita-cita dan tujuan dari visi pemerintahan kota untuk kejayaan Padangpanjang benar-benar terealisasikan dengan baik. Sekali lagi ini mestinya menjadi tolok ukur pemerintahan dalam menilai program pemerintahan seperti apa harusnya dikemas untuk memberikan kesejahteraan kepada para pegiat-pegiat yang ada di TBM-TBM tersebut. Jangan sampai pemerintahan terlena dengan euforia-euforia pementasannya saja. 


Buat apa melangitkan program jika tidak mampu membumikan kejayaan bagi masyarakat sendiri.[*]


*) Penulis adalah Sekretaris Forum Taman Bacaan Masyarakat kota Padangpanjang


×
Kaba Nan Baru Update