Pasbana - Bayangkan sebuah kota kecil di jantung Minangkabau yang terhampar di ketinggian, dikelilingi bukit-bukit, dan kerap diselimuti kabut. Itulah Padang Panjang, sekitar 130 tahun lalu. Sebuah kota yang kini dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah, rupanya sudah punya “peta wajah” sejak 1893.
Peta itu bukan sembarangan. Ia diterbitkan oleh Biro Topografi Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia. Tanpa satelit, tanpa drone, tanpa Google Maps, para juru ukur kolonial menggambar setiap sudut kota dengan detail yang mencengangkan. Dan dari secarik kertas inilah kita bisa menelusuri jejak Padang Panjang tempo dulu.
Pasar, Kereta Api, dan Hiruk Pikuk Kota
Sementara itu, Stasiun Kereta Api Padang Panjang yang baru berdiri dua tahun sebelumnya (1891) sudah jadi magnet baru. Letaknya berdampingan dengan Kampung Jawa, sebuah pemukiman yang dihuni pegawai Sumatra Staatsspoorwegen (jawatan kereta api kolonial). Nama “Kampung Jawa” sendiri lahir dari banyaknya orang Jawa yang ditugaskan di sana.
“Padang Panjang waktu itu strategis sekali. Ia jadi simpul penting jalur kereta dari Padang ke Bukittinggi dan Payakumbuh,” jelas sejarawan lokal, Asnan Gusti, dalam salah satu risetnya tentang jaringan kereta api kolonial di Sumatra Barat.
Pacuan Kuda, Hiburan Paling Bergengsi
Tak kalah menarik, di peta tua itu sudah tercatat arena pacuan kuda Bancah Laweh. Dibangun sejak 1888, lapangan ini diresmikan dengan balapan pertama pada 1894. Hingga kini, pacuan kuda masih jadi bagian penting budaya Minang, identik dengan pesta rakyat sekaligus arena prestise bagi para pemilik kuda pacu.Pemerintahan, Militer, dan Simbol Kolonial
Di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Taman Mini, dulu berdiri rumah dinas Asisten Residen Belanda, lengkap dengan simbol bendera. Saat itu pejabatnya adalah H.E. Prins, tokoh penting administrasi kolonial di Padang Panjang.
Tak jauh dari sana, di Guguk Malintang, berdiri megah Tangsi Militer Belanda. Konon, kompleks ini sudah ada sejak Perang Padri (1821–1837), setelah Belanda mendapat izin dari Tuan Gadang Batipuh. Dari sinilah pemerintah kolonial mengatur kontrol militernya di kawasan dataran tinggi Minang.
Nama-nama yang Kini Nyaris Hilang
Membaca legenda peta tahun 1893, kita juga menemukan jejak nama tempat yang kini terasa asing di telinga: Kabun Hilalang, Guguk Sikumbang, Padang Rang Kayo, hingga Tanjung Biaro. Banyak pula sebutan “Guguk” (bukit kecil) yang kini hilang dari percakapan sehari-hari: Guguk Sikambang, Guguk Tagak, Guguk Pimping, dan puluhan lainnya.
“Toponimi atau nama tempat adalah jejak identitas lokal. Sayangnya, banyak yang hilang karena perubahan zaman,” kata Prof. Mestika Zed, sejarawan Universitas Andalas, dalam sebuah seminar tentang sejarah lokal.
Dari Peta ke Cerita Kota
Ada hal menarik lain: pada peta 1893 itu, Lubuk Mata Kucing belum tergambar. Pemandian alami yang populer itu baru dibangun pada 1918. Namun, nama “Loeboek Mato Koetjing” sudah muncul di legenda. Artinya, masyarakat sudah lama menamai sumber mata air itu, bahkan sebelum dikelola kolonial.Kini, setelah lebih dari satu abad, peta itu bukan sekadar arsip tua. Ia adalah pintu menuju imajinasi—bagaimana sebuah kota kecil tumbuh, bertransformasi, dan bertahan melewati zaman.
Seorang peneliti arsip Belanda pernah menyebut, “Peta kolonial bukan hanya alat kontrol kekuasaan, tapi juga catatan detail tentang bagaimana kota-kota di Hindia tumbuh dan berinteraksi dengan modernitas.”
Dan Padang Panjang—yang dulu hanya secarik kecil di atas kertas—hari ini berdiri sebagai kota penuh sejarah, pendidikan, dan budaya. Dari hiruk-pikuk Pasar Serikat, raungan kereta api tempo dulu, hingga pacuan kuda yang masih meriah setiap tahun.
Salut untuk para juru ukur kolonial yang, tanpa sadar, meninggalkan warisan berharga: sebuah peta yang kini menghidupkan kembali kenangan 130 tahun lalu. Makin tahu Indonesia.
Hats off to you, Meneer…!
(*)