Notification

×

Iklan

Iklan

Bekal Cinta dari Sawahlunto: Saat Anak-Anak SLB Belajar Mandiri Lewat Dapur Museum

14 Oktober 2025 | 23:00 WIB Last Updated 2025-10-14T16:00:52Z


Sawahlunto, pasbana — Di dapur tua yang pernah menjadi tempat memasak ribuan piring nasi bagi para pekerja tambang batubara zaman Belanda, kini aroma wangi tumisan sayur dan nasi goreng kembali menyeruak. 

Bedanya, kali ini bukan juru masak berpengalaman yang sibuk di sana, melainkan tangan-tangan mungil penuh semangat dari para pelajar Sekolah Luar Biasa (SLB) se-Kota Sawahlunto.

Museum Goedang Ransoem — bangunan bersejarah yang dulu menjadi pusat logistik kolonial — mendadak riuh oleh tawa dan teriakan semangat anak-anak berkebutuhan khusus. 

Mereka tengah mengikuti “Lomba Memasak Bekal” yang dibuka langsung oleh Wali Kota Sawahlunto, Riyanda Putra.
Namun acara ini bukan sekadar lomba. Ada makna yang lebih dalam tersaji di balik piring-piring sederhana itu: tentang kemandirian, kepercayaan diri, dan ruang untuk tumbuh tanpa batasan.

“Anak-anak ini luar biasa. Kita ingin mereka tahu bahwa kemampuan mereka sama berharganya dengan siapa pun,” ujar Wali Kota Riyanda saat membuka kegiatan tersebut.

Menurutnya, lomba memasak ini merupakan bagian dari visi “Sawahlunto Maju” — kota kecil di Sumatera Barat yang kini sedang bertransformasi dari kota tambang menjadi kota wisata dan pendidikan yang inklusif.

Riyanda menegaskan bahwa penguatan sumber daya manusia (SDM) menjadi pondasi utama pembangunan. “Kota ini tidak akan maju hanya dengan jalan mulus dan gedung tinggi. Kita juga perlu manusia yang percaya diri, mandiri, dan punya empati,” tambahnya.

Dalam lomba ini, setiap peserta diminta menyiapkan bekal sehat dan menarik. Ada yang membuat nasi goreng sayur, roti isi telur, hingga salad buah sederhana. Tak jarang, suara tawa pecah saat telur gosong atau nasi terlalu asin. Tapi tak ada yang kecewa.

“Yang penting berani coba dulu,” kata Rafi, siswa SLB Negeri Sawahlunto sambil memegang spatula. Ia tampak bangga saat Wali Kota mencicipi hasil kreasinya.

Guru pendamping mereka, Ibu Melani, mengatakan bahwa kegiatan seperti ini bukan hanya ajang hiburan, tapi bagian dari terapi sosial. “Lewat kegiatan memasak, anak-anak belajar fokus, kerja sama, dan disiplin. Itu jauh lebih penting daripada siapa yang menang,” ujarnya.

Museum Goedang Ransoem sendiri punya sejarah panjang sebagai dapur umum bagi para pekerja tambang batubara sejak awal abad ke-20. Dulu, dari sini ribuan porsi makanan dimasak setiap hari untuk para buruh tambang di Ombilin — tambang batu bara yang kini menjadi Warisan Dunia UNESCO sejak 2019.

Kini, dapur itu bukan lagi milik kolonial, tapi menjadi dapur kebanggaan generasi muda Sawahlunto. Sebuah simbol bahwa warisan masa lalu bisa menjadi ruang pembelajaran masa depan.

“Pembangunan Sawahlunto bukan cuma tentang mempercantik kota, tapi tentang memastikan setiap anak punya ruang untuk bermimpi dan berkembang,” tutup Riyanda.

Dan di bawah aroma nasi goreng yang masih menggantung di udara museum, tampak jelas: Sawahlunto sedang memasak sesuatu yang lebih berharga dari sekadar bekal — masa depan yang inklusif dan berdaya.(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update