Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika Raksasa Pun Tersandung: Fenomena Kaburnya Dana Asing dari Big Bank

11 Oktober 2025 | 14:12 WIB Last Updated 2025-10-11T07:12:59Z


Pasbana - Bayangkan empat gajah perkasa di hutan perbankan Indonesia — BCA, Mandiri, BRI, dan BNI — tiba-tiba goyah. Bukan karena kehilangan kekuatan, tapi karena para pemburu asing kabur beramai-ramai, meninggalkan jejak merah di grafik harga saham.

Selama satu tahun terakhir, investor asing menjual saham perbankan papan atas dengan nilai fantastis:
BBCA dilepas hingga Rp35,6 triliun,
BMRI Rp21,5 triliun,
BBRI Rp18,2 triliun, dan
BBNI Rp5,1 triliun.

Totalnya? Lebih dari Rp80 triliun uang asing keluar dari “big four” bank nasional.

Akibatnya, harga saham yang dulu berjaya kini ambruk hingga −20% sampai −38%, meski laba bersih bank-bank tersebut masih gemuk dan bahkan membagikan dividen dua digit.

Pertanyaannya: mengapa Aseng kabur?


Bukan Soal Laba, Tapi Soal Arus Dana


Mari kita lihat fakta.
BBCA, misalnya, mencatat laba Rp29 triliun, tumbuh +7,96% YoY.
BMRI meraup Rp24,5 triliun,
BBRI Rp26,3 triliun, dan
BBNI Rp10 triliun.

Secara fundamental, tidak ada tanda-tanda krisis. Rasio keuangan masih sehat, Non-Performing Loan (NPL) terkendali, dan permodalan tebal. Tapi sayangnya, pasar saham tidak hanya digerakkan oleh laba, melainkan oleh arus uang (capital flow).

Ketika dana asing keluar deras seperti air bah, harga saham pun ikut terseret. “Dalam jangka pendek, yang menggerakkan harga bukan laporan keuangan, tapi arus modal,” ujar Ariston Tjendra, analis di salah satu sekuritas besar Jakarta.

Global Turbulence: Ketika The Fed Batuk, IHSG Ikut Pilek


Salah satu alasan utama larinya dana asing adalah faktor global.
Suku bunga tinggi di AS membuat investor asing memilih parkir dana di aset dolar yang lebih aman.

Kurs rupiah yang melemah menambah tekanan, karena setiap penurunan nilai rupiah berarti potensi rugi tambahan bagi investor asing.

Ditambah lagi, rebalancing indeks global seperti MSCI, di mana saham baru seperti $BREN atau $CDIA masuk, memaksa investor global menata ulang portofolionya — termasuk menjual sebagian big bank Indonesia untuk memberi ruang bagi pendatang baru.

“Ini bukan masalah kinerja bank, tapi rotasi dana besar-besaran,” jelas Johan Gouw, Head of Equity Strategy di Mandiri Sekuritas.

Jadi, Apa yang Bisa Dilakukan Investor Lokal?


Kabar baiknya, ketika investor asing kabur, harga saham menjadi murah. Beberapa big bank kini diperdagangkan dengan valuasi price to book value (PBV) di bawah 1x, sesuatu yang jarang terjadi pada sektor sekuat perbankan Indonesia.

Artinya, bagi investor domestik yang sabar dan berpikir jangka panjang, ini bisa jadi peluang emas.

Namun, bukan berarti langsung serok tanpa strategi. Berikut tips praktis:

Fokus pada fundamental – Pilih bank dengan rasio laba, NIM, dan efisiensi (BOPO) terbaik.

Perhatikan yield dividen – BMRI dan BBNI kini menawarkan yield di atas 9%, lebih tinggi dari deposito.

Pantau arus dana asing – Gunakan indikator foreign flow di platform trading untuk melihat kapan arus jual mulai berbalik.

Sabar di tengah badai – Seperti air bah yang akhirnya surut, arus keluar asing pun akan berhenti.


Yang Lari Asing, yang Panen Bisa Justru Lokal


Fenomena “Aseng kabur” ini bukanlah akhir dari cerita big bank, melainkan fase rebalancing pasar global. Ketika investor asing keluar besar-besaran, mereka bukan membuang karena fundamental buruk, tapi karena portofolio global mereka sedang disesuaikan.

Bagi investor lokal, ini bisa menjadi momen langka — “sale besar-besaran” di sektor perbankan yang masih menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia.

Seperti kata pepatah pasar:
“Ketika orang lain takut, di situlah peluang muncul.”

Arus dana asing memang bisa mengguncang harga, tapi tidak bisa mengubah fondasi. Bagi investor lokal yang cermat, justru inilah saatnya menyiapkan jaring ketika ikan besar sedang kabur.(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update