Pasbana - Di era serba cepat ini, banyak anak muda tampak memukau di luar—berprestasi di media sosial, penuh pencitraan, dan seolah hidupnya sempurna. Namun, di balik layar ponsel, tak sedikit yang rapuh saat menghadapi tekanan hidup yang sesungguhnya.
“Cantik di luar, tapi mudah hancur saat ditekan.”
Kalimat itu bukan sindiran, melainkan refleksi atas kenyataan generasi yang tumbuh dalam dunia digital: penuh eksposur, tapi minim ruang jeda.
Generasi yang tumbuh dengan like dan follower sebagai ukuran keberhasilan, sering kali lupa mengenali dirinya sendiri.
Tekanan Baru dalam Dunia Lama
Menurut laporan World Health Organization (WHO), satu dari tujuh remaja di dunia mengalami masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi.
Sementara di Indonesia, data Riskesdas 2023 menunjukkan bahwa sekitar 9,8% remaja usia 15–24 tahun mengaku sering merasa cemas dan tertekan oleh tuntutan sosial serta ekspektasi diri.
Psikolog klinis anak dan remaja, Andini Prameswari, M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa tantangan terbesar generasi muda saat ini bukan lagi soal kurangnya informasi, melainkan melimpahnya tekanan sosial.
“Mereka tumbuh di tengah sorotan publik digital. Segalanya harus tampak sempurna—nilai, karier, hingga gaya hidup. Padahal, daya tahan emosional tidak bisa dibangun dari penampilan,” ujarnya.
Menemukan Jalan Pulang ke Diri Sendiri
Di tengah situasi itu, muncul inisiatif menarik dari sejumlah pendidik dan pegiat karakter di Indonesia: Self Driving Camp.
Sebuah program pelatihan yang mengajarkan remaja untuk “mengemudi hidupnya sendiri”—belajar mengenal diri, mengatur emosi, dan menghadapi tekanan tanpa kehilangan arah.
Berbeda dari pelatihan motivasi konvensional, kegiatan di Self Driving Camp dikemas secara alami dan reflektif. Peserta diajak melakukan aktivitas luar ruang, self-reflection, hingga latihan berpikir kritis.
Tujuannya bukan sekadar membuat mereka lebih percaya diri, tapi juga lebih tangguh menghadapi kenyataan hidup.
“Kami ingin menumbuhkan generasi yang kuat dari dalam, bukan hanya terlihat baik di luar,” kata salah satu fasilitator Self Driving Camp, Arif Rahman, saat ditemui di sela kegiatan di Lembang, Jawa Barat.
Mengasah Ketangguhan, Bukan Kesempurnaan
Program seperti ini menjadi penting di tengah meningkatnya fenomena burnout dan anxiety di kalangan pelajar. Riset Universitas Indonesia (2024) menemukan bahwa 68% mahasiswa mengaku pernah merasa kehilangan motivasi belajar karena tekanan sosial dan akademik.
Melalui pengalaman langsung—berkemah, berdiskusi, dan berlatih mengelola diri—peserta diajak memahami bahwa kehidupan tidak selalu tentang hasil cepat, melainkan proses panjang untuk menjadi manusia yang utuh.
Generasi yang Bisa Bertahan
Dunia hari ini tidak hanya membutuhkan anak muda yang sopan dan berpenampilan manis, tapi yang mampu berpikir jernih, bertahan di bawah tekanan, dan menggerakkan dirinya sendiri.
Inilah semangat yang coba ditanamkan lewat Self Driving Camp—membangun ketangguhan dari dalam, agar anak muda bisa tetap kokoh meski diterpa badai ekspektasi.
“Hidup tidak bisa dikendalikan oleh algoritma. Tapi bisa diarahkan oleh kesadaran diri,” begitu pesan yang selalu diulang di akhir setiap sesi pelatihan.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti memoles generasi muda agar “terlihat sempurna” dari luar, dan mulai menyiapkan mereka untuk kuat dari dalam.
Sebab, dunia modern bukan hanya panggung citra, tapi juga arena ketahanan mental. Dan seperti kata pepatah lama: Yang bertahan bukan yang terindah, tapi yang paling tangguh.(*)