Pasbana - Di saat sebagian daerah masih asyik menunggu “kucuran” dari pusat, Sumatera Barat memilih langkah berbeda. Alih-alih menadahkan tangan, mereka bersiap menerbitkan Sukuk Daerah—instrumen keuangan syariah yang selama ini lebih akrab dengan korporasi besar dan pemerintah pusat.
Sebuah terobosan? Sudah pasti. Tapi juga taruhan besar.
Senin (13/10/2025) lalu, lewat ruang Zoom yang lebih mirip rapat “hijrah digital”, Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah duduk di ruang Podcast Azwar Anas—nama ruangan yang terasa amat modern untuk urusan se-serius penerbitan surat berharga syariah.
Bersamanya, para pejabat daerah, Bank Nagari, hingga kementerian terkait.
Satu frekuensi, satu kata kunci: Sukuk.
Satu frekuensi, satu kata kunci: Sukuk.
Langkah ini bukan sekadar mencari dana segar. Ia adalah upaya membalik paradigma klasik bahwa pembangunan harus bergantung pada anggaran rutin atau utang konvensional. Sumbar, lewat Sukuk-nya, ingin membuktikan bahwa iman bisa sejalan dengan pembangunan.
Dana yang terkumpul nanti tak akan nyasar ke proyek tak jelas. Pemerintah daerah sudah menandai dua sasaran strategis:
Rp750 miliar untuk penyertaan modal ke Unit Syariah Bank Nagari, dan
Rp250 miliar untuk memperkuat layanan kesehatan di RSUD Ahmad Muchtar Bukittinggi—rumah sakit kebanggaan masyarakat ranah minang bagian utara.
Rp750 miliar untuk penyertaan modal ke Unit Syariah Bank Nagari, dan
Rp250 miliar untuk memperkuat layanan kesehatan di RSUD Ahmad Muchtar Bukittinggi—rumah sakit kebanggaan masyarakat ranah minang bagian utara.
Tak tanggung-tanggung, nilai penerbitannya diproyeksikan mencapai Rp1 triliun.
Sebuah angka yang bukan main-main untuk skema fiskal daerah. Kuponnya diperkirakan di level 10 persen—kompetitif dan menggoda investor yang mencari instrumen halal namun tetap cuan.
Mahyeldi menyebut, mekanismenya akan mengikuti skema Ijarah atau sewa, sesuai arahan Dewan Syariah Nasional. Artinya, tidak ada bunga, tidak ada riba—tapi tetap ada imbal hasil yang sehat.
Bahkan, dividen dari Unit Syariah Bank Nagari nantinya akan dikembalikan lagi untuk pembangunan infrastruktur dan pembayaran kupon investor. Mutar di daerah, manfaat di daerah.
Dengan kata lain, Sumbar sedang berupaya menjadikan keuangan syariah bukan sekadar label religius, melainkan motor pembangunan nyata.
Namun, tentu saja, Sukuk bukan sihir. Ia tidak akan otomatis mengubah jalan berlubang jadi mulus atau gedung rumah sakit jadi megah.
Tantangan terbesarnya justru ada di tahap eksekusi. Mengelola dana publik dalam skema syariah menuntut disiplin transparansi yang lebih tinggi. Salah urus sedikit saja, trust investor bisa rontok lebih cepat dari koneksi Wi-Fi di kantor kelurahan.
Yang menarik, seluruh proses ini dijalankan dengan restu kementerian dan lembaga tinggi negara: Kementerian Keuangan, Kemenko Perekonomian, Kemendagri, hingga OJK. Semua tampak sepakat bahwa eksperimen fiskal ini patut dicoba.
Bahkan, bisa jadi model bagi daerah lain yang ingin lepas dari “ketergantungan pusat” tapi enggan menabrak prinsip syariah.
Ranah Minang memang dikenal cerdas dalam berdagang sejak masa Padangsche Bazar hingga kini. Jadi, jika ada daerah yang bisa mengawinkan semangat kaum dagang dengan idealisme syariah—barangkali memang Sumbar lah tempatnya.
Jika Sukuk ini berhasil, bukan hanya infrastruktur yang dibangun, tapi juga kepercayaan: bahwa daerah bisa berpikir besar, bertindak berani, dan tetap berpijak pada nilai-nilai yang diyakini.
Karena di ujungnya, pembangunan bukan semata soal dana—tapi soal cara pandang. Dan kali ini, Sumbar memilih melihat masa depannya lewat kaca Sukuk: bening, bernilai, dan berprinsip.
(*)