Pasbana - Suatu senja di Luhak nan jauh di mato, surau tua berdiri kikuk di tepi jalan. Dinding papan yang dulu bergema lantunan ayat kini diam seperti sedang puasa panjang.
Tikar digulung, kitab berdebu, dan hanya angin yang masih rajin “mengaji”.
Dulu, surau adalah universitas kehidupan. Dari sanalah lahir generasi Minangkabau yang tangguh di lidah, tajam di pikiran, dan santun di laku.
Dulu, surau adalah universitas kehidupan. Dari sanalah lahir generasi Minangkabau yang tangguh di lidah, tajam di pikiran, dan santun di laku.
Anak-anak lelaki belajar silat, berdebat soal adat, bahkan merumuskan arah kaum. Di bawah pelita minyak tanah, mereka ditempa untuk menjadi “urang sumando” yang beradat dan berakal.
Kini, surau-surau itu tinggal jadi potret nostalgia. Fungsinya perlahan digusur oleh ruang-ruang ber-AC yang penuh jadwal, kurikulum, dan nilai rapor.
Pendidikan modern menawarkan ijazah, surau hanya menawarkan makna. Tapi entah kenapa, makna itu kini makin tak laku.
Dari Jantung Peradaban ke Pinggiran Zaman
Sistem sekolah modern datang dengan janji kemajuan. Anak-anak tak lagi tidur di surau, tapi di kamar dengan gawai di tangan. Orang tua pun lebih bangga menyebut anaknya “sarjana” daripada “murid surau”. Surau pelan-pelan bergeser jadi bangunan seremonial: tempat salat tarawih atau acara tahlilan tahunan.
Di banyak nagari, program “Baliak ka Surau” sempat digembar-gemborkan. Ada seminar, ada spanduk, ada pidato pejabat yang mengutip pepatah adat.
Tapi setelah mikrofon dimatikan dan spanduk digulung, banyak surau tetap sepi seperti semula.
Bukan karena masyarakat tak peduli—tapi karena surau kalah dalam hal “branding”. Di era digital, nilai dan tradisi bersaing dengan algoritma. Mana sempat anak muda datang ke surau kalau notifikasi TikTok lebih cepat dari azan maghrib?
Ruang yang Tak Bisa Diganti Aplikasi
Yang sering terlupa, surau bukan cuma tempat sembahyang. Ia adalah “ruang multidimensi” yang melahirkan manusia seutuhnya—yang tahu kapan bicara, kapan diam, kapan menghormati, dan kapan menegur.
Surau dulu tempat menempa kepemimpinan. Di sana, penghulu dan guru surau mengajarkan politik lokal tanpa menyebutnya “politik”. Mereka belajar berdebat tanpa perlu mencaci.
Di surau juga, anak-anak lelaki belajar tentang tanggung jawab sosial—menimba air, membersihkan halaman, menyiapkan makanan untuk kaum. Semua itu latihan kecil menuju kedewasaan yang sesungguhnya.
Kini, pendidikan karakter berusaha menggantikan semua itu dengan modul dan pelatihan motivasi. Padahal, jiwa tak tumbuh dari slide PowerPoint. Ia tumbuh dari kebersamaan, dari ruang yang bernapas—seperti surau.
Ketika Surau Hilang, Apa yang Hilang Bersama?
Sepinya surau bukan sekadar soal bangunan. Ia tanda hilangnya ruang sosial yang mempersatukan. Tanpa surau, kita kehilangan tempat anak muda bertemu dengan tetua, tempat nilai gotong royong diturunkan, dan tempat humor kampung berputar tanpa takut disalahpahami.
Lebih dari itu, kita kehilangan arsip hidup: kisah kaba, pepatah adat, dan jurus silat yang tidak pernah ditulis di buku. Di situ tersimpan DNA kebudayaan Minangkabau—yang kalau hilang, tak bisa diunduh ulang dari Google.
Menghidupkan Kembali, Bukan Memuseumkan
Menghidupkan surau bukan berarti memaksa anak muda kembali tidur di lantai bambu. Tapi menanamkan lagi semangatnya: belajar bersama, saling menghormati, dan mencari keseimbangan antara adat dan akal sehat.
Surau bisa beradaptasi tanpa kehilangan ruhnya—dijadikan ruang belajar literasi digital, ekonomi lokal, atau pelatihan keterampilan, asal tetap berpijak pada nilai: “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.”
Beberapa komunitas sudah mencoba: ada surau yang jadi pusat pengajaran coding sambil tetap mengaji, ada yang membuka kelas silat plus diskusi ekonomi nagari. Mungkin kecil, tapi di sanalah harapan menyala.
Menutup Pintu, Membuka Pikiran
Surau yang sepi adalah cermin: bukan hanya soal bangunan yang ditinggal, tapi nilai yang dilupakan. Modernitas tidak perlu meniadakan surau—cukup menyesuaikan irama.
Karena jika generasi Minang ke depan hanya tahu “merantau” tapi lupa “baliak ka surau”, maka perjalanan mereka tak punya arah pulang.
Dan di saat itu, kita bukan cuma kehilangan surau—kita kehilangan diri kita sendiri.(*)