Dharmasraya, pasbana - Di halaman rumah sederhana di Nagari Sitiung, Kecamatan Sitiung, deretan polibag hitam tersusun rapi. Di dalamnya tumbuh bibit mangga, jeruk, jambu, hingga aneka bunga hias. Di sanalah Ngalimin menanam harapan—pelan tapi pasti.
Sejak kecil, pria ini tak pernah jauh dari tanah dan tanaman. Dunia pertanian sudah menjadi bagian dari hidupnya. Kini, di sela aktivitas harian, ia menekuni usaha pembibitan tanaman secara mandiri.
Tangannya akrab mencampur tanah dan kompos, memotong batang untuk stek, mencangkok dahan, hingga menunggu biji tumbuh menjadi kehidupan baru.
Setiap sore, sepulang beraktivitas, Ngalimin kembali ke halaman rumah. Ia merawat bibit-bibitnya dengan telaten. Tak ada mesin canggih, hanya kesabaran dan ketekunan.
Setiap sore, sepulang beraktivitas, Ngalimin kembali ke halaman rumah. Ia merawat bibit-bibitnya dengan telaten. Tak ada mesin canggih, hanya kesabaran dan ketekunan.
Namun siapa sangka, usaha kecil itu perlahan mulai menunjukkan hasil.
Beberapa bulan terakhir, hampir setiap hari ada saja warga yang datang. Ada yang membeli bibit buah untuk ditanam di pekarangan, ada pula yang mencari tanaman hias. Puluhan bibit kini siap dipasarkan. Usaha rumahan itu mulai berdenyut.
Beberapa bulan terakhir, hampir setiap hari ada saja warga yang datang. Ada yang membeli bibit buah untuk ditanam di pekarangan, ada pula yang mencari tanaman hias. Puluhan bibit kini siap dipasarkan. Usaha rumahan itu mulai berdenyut.
Namun, titik balik terbesarnya justru datang dari sebuah kebijakan sederhana, yang dampaknya terasa langsung hingga ke halaman rumah Ngalimin.
Menjelang peringatan Hari Jadi ke-22 Kabupaten Dharmasraya, Bupati Annisa Suci Ramadhani mengeluarkan imbauan yang berbeda dari biasanya. Ucapan selamat tak lagi dianjurkan dalam bentuk karangan bunga, melainkan diganti dengan bibit tanaman.
Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor 100.3.4.2/969/SE/DLH-2025, tertanggal 28 Desember 2025, tentang Himbauan Ucapan Selamat Hari Jadi Kabupaten Dharmasraya Tahun 2026.
Langkah ini dinilai sejalan dengan upaya pengurangan sampah dekoratif yang bersifat sementara sekaligus mendorong gerakan penghijauan. Namun di luar itu, kebijakan ini ternyata membuka ruang ekonomi baru bagi pelaku usaha kecil.
Bagi Ngalimin, kebijakan tersebut ibarat angin segar.
“Alhamdulillah, sejak ada imbauan ibu bupati, pesanan mulai ramai. Ada yang pesan bibit buah saja, ada juga yang minta sekalian dihias,” ujarnya sambil tersenyum.
Ia mematok harga Rp150 ribu untuk bibit buah setinggi minimal satu meter. Sementara bibit yang sudah dirangkai dan dihias—siap dijadikan ucapan selamat—dibanderol Rp250 ribu. Semua dikerjakan sendiri, dari pembibitan hingga perapian tampilan.
Apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Dharmasraya bukan hal besar di atas kertas. Namun di lapangan, efeknya terasa langsung. Kebijakan ini bukan hanya ramah lingkungan, tetapi juga menggerakkan ekonomi lokal.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), limbah karangan bunga termasuk sampah non-organik yang sulit terurai dan umumnya hanya bertahan beberapa hari sebelum dibuang. Menggantinya dengan bibit tanaman dinilai lebih berkelanjutan dan memiliki nilai jangka panjang.
“Ini bukan sekadar simbolis. Kami benar-benar merasakan manfaatnya,” kata Ngalimin.
“Kalau kebijakan seperti ini bisa diterapkan juga di momen lain, usaha kecil seperti kami bisa terus hidup dan berkembang.”
Cerita Ngalimin hanyalah satu dari banyak kisah kecil yang tumbuh dari kebijakan yang berpihak. Dari halaman rumah di Nagari Sitiung, bibit-bibit itu bukan hanya akan tumbuh menjadi pohon, tetapi juga menjadi simbol harapan—bahwa perubahan besar kadang justru dimulai dari langkah yang sederhana.
(*)




